KULI KONTRAK: SIMBOL KETIDAKADILAN BURUH PERKEBUNAN KOLONIAL

Cerpen “Kuli Kontrak” karya Mochtar Lubis ini diakuinya sebagai karya yang paling dia sukai. Cerpen ini dikutip dari majalah Siasat Baru, No.650, Th. XIII, edisi tanggal 25 November 1959 kemudian dibukukan oleh Pusat Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1979.

RINGKASAN CERITA

Pada sebuah malam, di sebuah desa terjadi keributan. Ayah yang bekerja seabgai demang di Kerinci langsung keluar mencari sumber keributan. Senjata khas perkelahian ini adalah batu sebesar telur ayam yang diikat dengan tali kemudian diayunkan. Batu itu dapat mengenai kepala orang. Ayah seminggu yang lalu pernah menghentikan perkelahian semacam ini di Sungai Deras. Kepala Ayah pun kena batu. Beruntungnya, ayah mengenakan topi helm. Ayah hanya merasa pening untuk beberapa lama karena batu itu.

Perkelahian itu kemudian dapat dihentikan oleh polisi dengan menembakkan senapan berkali-kali ke udara. Kepala kampong kedua desa yang terlibat perkelahian kemudian dipertemukan dan berdamai. Namun, kemudian ada keributan yang terjadi lagi. Ayah kemudian keluar dengan pakaian tugasnya. Tak lupa dengan pistol di pinggangnya dan topi helmnya.

Ayah ternyata menangkap lima kuli kontrak yang melarikan diri dari onderneming Kayu Aro, setelah menikam opzichter Belanda. Ketiga kuli kontrak itu kemudian ditangkap dan dibawa ke penjara. Tidak lima seperti yang diceritakan sebelumnya, melainkan hanya tiga orang kuli kontrak. Menurut cerita ayah kepada ibu, penangkapan ketiga kuli kontrak itu disebabkan karena opzichter itu selalu mengganggu istri-istri mereka. Rupanya kuli kontrak itu sudah mata gelap dan tak dapat lagi menahan hati melihat opzichter mengganggu istri mereka. Kemudian diseranglah opzichter itu oleh mereka. Belanda tidak pernah menangkap orang-orangnya sendiri karena merekalah yang berkuasa, tutur ibu.

Ayah kemudian memperingatkan anaknya untuk tidak bermain-main ke pekarangan belakang rumah mereka karena dekat dengan penjara. Hukuman untuk ketiga kuli kontrak itu akan segera dilaksanakan.

Perlakuan tidak adil kemudian didapatkan oleh ketiga kuli kontrak itu. Ketiga kuli kontrak mendapat hukuman pecut. Ayah sebagai demang pun hadir dalam pelaksanaan hukuman ketiga kuli kontrak itu. Sebagai pegawai pemerintahan, mereka harus turut ikut serta dalam semua keputusan-keputusan pemerintah walaupun keputusan itu adalah tindakan yang salah dan tidak adil. Ayah berpesan pada anaknya untuk jangan menjadi pegawai negri.

SIAPA MOCHTAR LUBIS?

Mochtar Lubis lahir di Padang. Ia berasal dari keluarga pamong praja. Satu dari sekian banyak pengalamannya semasa kecil adalah seperti yang tertulis dalam cerpennya ini, Kuli Kontrak. Selain itu, Mochtar Lubis adalah seorang wartawan dan juga seorang pelukis, pembuat keramik, juga menjadi pembicara di berbagai seminar, baik di Indonesia maupun di negara lain. Mochtar Lubis juga merupakan pimpinan Koran Indonesia Raya (1951). Koran tersebut menaruh kontroversi pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru sehingga Mochtar Lubis terpaksa ditahan di penjara untuk beberapa waktu.

Sejak 1967, Mochtar Lubis terpilih sebagai Ketua Redaksi Majalah Horison dan juga anggota seumur hidup Akademi Jakarta bersama Sembilan budayawan senior yang lain, seperti Takdir Alisyahbana, Soedjatmoko, Affandi, dan H.B. Jassin.

Romannya Jalan Tak Ada Ujung mendapat penghargaan dari Badan Musjawarah Kebudajaan Nasional (BMKN) telah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing, bahkan Senja di Jakarta lebih dulu terbit dalam terjemahan beberapa bahasa asing sebelum diterbitkan di Indonesia dalam bahasa aslinya. Harimau! Harimau! yang diterbitkan Pustaka Jaya pada tahun 1975 juga mendapatkan penghargaan dari Yayasan Buku Utama.

Orang tua Mochtar Lubis adalah seorang pamong praja. Hidupnya pada masa itu tidak jauh dari kaum buruh yang bekerja di perkebunan. Karena kesehariannya tak jauh dari kaum kuli kontrak, kehidupan mereka pun tidak luput dari pengamatan Mochtar Lubis sebagai seorang wartawan muda yang suka menulis pada saat itu.

PERKEBUNAN DELI, KULI KONTRAK, DAN PEMERINTAH KOLONIAL DALAM CERPEN “KULI KONTRAK”

Mochtar Lubis hidup tidak jauh dari kehidupan para kaum buruh kuli kontrak. Di Sumatera, tepatnya di Perkebunan Deli, terdapat kehidupan kuli kontrak yang bisa digambarkan kehidupannya lewat tulisan. Kuli kontrak umumnya bekerja untuk perkebunan tembakau pemerintah kolonial. Pada masa itu, sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20, perkebunan yang terkenal adalah perkebunan Deli. Perkebunan itu terletak di tepi sungai Deli, Sumatera Utara.

Baru semingguan yang lalu ayah pergi ke Sungai Deras menghentikan perang semacam ini dan dia  kena peluru batu kesasar yang merenggutkan topi helmnya dari kepalanya. Untunglah tidak tepat, kenanya. Hanya pening juga kepala ayah beberapa lama dibuatnya. (Lubis, 1959:107)

Kutipan cerpen di atas menggambarkan cerminan masyarakat yang hidup di tepi Sungai Deli saat itu. Kuli buruh yang berasal dari Melayu dan Karo memang cenderung agak malas dan suka melawan pemerintah koloni.

Karena terikat kontrak, para kuli juga harus mematuhi peraturan-peraturan yang sudah tertera dalam perjanjian kontrak yang telah mereka sepakati secara tertulis, termasuk tentang hukuman yang harus diterima apabila ia melanggar. Hukuman bisa berupa denda, penjara, atau hukuman sesuai keinginan majikannya. Artinya, berat ringannya hukuman ditentukan pada kemauan majikan. Penderitaan para kuli pun semakin berat ketika mendapat hukuman berupa hukum cambuk untuk buruh laki-laki yang dianggap melanggar aturan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut.

  1. Jatuhnya hukuman secara tidak adil pada kaum kuli kontrak.

Segera juga ibu kami serbu, hingga akhirnya untuk mendiamkan kami, ibu pun berkata bahwa esok hari ketiga kuli kontrak itu akan diberi hukuman. Sebelum perkaranya dibawa ke depan hakim maka mereka akan dilecuti, karena telah menyerang opzichter Belanda. (Lubis, 1959:109)

  1. Suasana ketika pelaksanaan hukuman para kuli kontrak.

Ketika kuli kontrak itu dibariskan dekat bangku-bangku kayu yang telah tersedia, mereka disuruh jongkok. Kepala rumah penjara kemudian membacakan sehelai surat. Dan aku lihat kontrolir mengangguk-angguk. Ayah berdiri tegang bergerak-gerak. Kemudian ketiga kuli kontrak itu dibuka ikatan tangan mereka di belakang, ditidurkan telungkup di atas perut mereka di bangku, dan kaki dan tangan mereka diikatkan ke bangku. (Lubis, 1959: 110)

  1. Kekejaman koloni ketika memberikan hukuman kepada para kuli.

Dan kembali cemeti berdesing membelah udara. Dan menerkam melingkari punggung yang telah hancur memerah darah. Hanya kini mereka tidak lagi menjerit. Ketiganya telah pingsan. (Lubis, 1959: 111)

Cerpen “Kuli Kontrak” ini merupakan simbol ketidakadilan yang diterima kaum kuli kontrak pada waktu itu. Cerpen ini cukup memberikan representasi keadaan pada zaman kuli kontrak bekerja untuk bangsa koloni di Perkebunan Deli.

Ketidakadilan yang diterima para kuli kontrak pada masa kolonial tergambar jelas di cerpen ini. Mochtar Lubis mencerminkan masyarakat kuli kontrak dan pemerintah koloni yang bekerja di perkebunan Deli dengan cukup jelas dalam cerpen ini. Apa yang tertuang dalam cerpen ini mencerminkan keadaan yang dirasakan dan dialami Mochtar Lubis yang hidup tidak jauh dari kehidupan para kuli kontrak.

FUNGSI SOSIAL SASTRA CERPEN “KULI KONTRAK” KARYA MOCHTAR LUBIS

Ada tiga aspek penting untuk menganalisis cerpen “Kuli Kontrak” berdasarkan fungsi sosial sastra. Pertama, anggapan bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Aspek pertama analisis ini tidak sesuai dengan karya sastra tersebut. Karya sastra tersebut tidak memuat tulisan persuasif untuk menyatakan sebuah perombakan atau pembaharuan. Ada sebuah kutipan dalam cerpen ini yang berpotensi menjadi sebuah perombakan. Kutipan ini adalah sebagai berikut.

Jika kau besar, jangan sekali-kali kau jadi pegawai negeri. Jadi pamong praja! Mengerti?” (Lubis, 1959:111)

Kau masih terlalu kecil untuk mengerti, kata ayahku. Sebab sebagai pegawai negeri orang harus banyak menjalankan pekerjaan yang sama sekali tak disetujuinya. Bahkan yang bertentangan dengan jiwanya. Untuk kepentingan orang yang berkuasa, maka sering pula yang haram menjadi halal, dan sebaliknya.” (Lubis, 1959:111—112)

Akan tetapi, hanya dengan itu saja karya sastra ini tidak kuat untuk untuk disebut sebagai sebuah perombakan dan pembaharuan. Tidak ada resistensi yang jelas dan kuat dari kuli kontrak dan tokoh ayah sebagai demang. Mereka mengikuti dan patuh terhadap aturan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa koloni. Jika memang karya sastra ini dianggap sebagai pembaharu, tentu karya sastra ini akan memunculkan tokoh-tokoh yang melakukan resistensi terhadap koloni.

Aspek kedua adalah bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Cerpen “Kuli Kontrak” ini jauh dari prinsip seni untuk seni. Ada ideologi yang dibawa oleh pengarang ke dalam karya sastra ini. Praktek untuk memperdagangkan karya sastra ini juga dirasa tidak sesuai karena karya sastra ini hanya dimuat di majalah Siasat Baru yang merupakan majalah sastra dan budaya. Kaum kapitalis tentu tidak melihat ini sebagai sebuah karya sastra yang bisa diperdagangkan. Selain itu, di dalam cerpen ini tidak dimuat kata-kata yang menyenangkan pembacanya. Cerpen ini tidak membuat pembacanya terhanyut membayangkan hal-hal indah yang dapat menyenangkan dirinya. Kecilnya kemungkinan tersebut membuat karya sastra ini tidak cocok dilihat sebagai penghibur belaka.

Aspek ketiga adalah karya sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Kriteria menghibur ini agak rancu. Karya sastra dapat dikatakan menghibur apabila ia dapat membuat pembaca membayangkan kesenangan dan kebahagiaan yang ada di dalam cerpen. Akan tetapi, di sisi lain, karya sastra juga dapat dikatakan menghibur apabila ia dapat membuat orang terhanyut ketika membaca cerita tersebut. Selain itu, pesan dari cerita itu diterima dengan baik oleh pembaca. Dalam hal ini, cerpen “Kuli Kontrak” dapat dikatakan sebagai karya sastra yang menghibur.

Cerpen ini menyuguhkan kejadian-kejadian yang menggemparkan seperti perkelahian dan tawuran antar desa sebelum akhirnya tiba pada masa kuli kontrak itu ditangkap dan dihukum secara kejam. Pembaca dapat hanyut dalam jalan cerita yang disuguhkan oleh pengarang.

Selain itu, ada ideologi pengarang yang diselipkan pada cerpen ini. Hal itu tergambar pada kutipan berikut.

Jika kau besar, jangan sekali-kali kau jadi pegawai negeri. Jadi pamong praja! Mengerti?” (Lubis, 1959:111)

Kau masih terlalu kecil untuk mengerti, kata ayahku. Sebab sebagai pegawai negeri orang harus banyak menjalankan pekerjaan yang sama sekali tak disetujuinya. Bahkan yang bertentangan dengan jiwanya. Untuk kepentingan orang yang berkuasa, maka sering pula yang haram menjadi halal, dan sebaliknya.” (Lubis, 1959:111—112)

Ideologi pengarang tersebut mengajarkan sesuatu kepada pembacanya. Pembaca diajarkan untuk memilih antara dua pilihan, menjadi pejabat pemerintahan namun terjebak dalam kekejaman dan kesewenang-wenangan pemerintah, atau menjadi orang biasa yang dapat bebas untuk melawan pihak koloni. Mochtar Lubis memberi penegasan pada akhir ceritanya. Pilihan itu dapat diambil sendiri oleh pembaca, namun pelajarannya dapat sampai dengan baik kepada mereka.

Dengan demikian, secara fungsi sosial sastra, cerpen “Kuli Kontrak” ini dapat menjadi sebuah pengajaran yang menghibur pembacanya.

KULI KONTRAK: REPRESENTASI KETIDAKADILAN KAUM BURUH DAN KEKEJAMAN PEMERINTAH ZAMAN KOLONIAL

Cerpen “Kuli Kontrak” karya Mochtar Lubis dikutip dari majalah Siasat Baru, No.650, Th. XIII, edisi tanggal 25 November 1959. Cerpen ini dikritik dengan menggunakan pendekatan ekspresif sosiologi sastra Ian Watt.

Dari konteks sosial pengarang, Mochtar Lubis merupakan wartawan muda yang memimpin redaksi Indonesia Raya yang waktu itu sempat ditangkap oleh pemerintah. Ia merupakan anak dari keluarga pamong praja. Semasa kecilnya adalah seperti yang tertulis dalam cerpen “Kuli Kontrak” ini karena hidupnya tidak jauh dari kehidupan para kuli kontrak pada zaman Belanda.

Cerpen “Kuli Kontrak” ini juga merupakan cerminan dari kaum kuli kontrak yang bekerja di Perkebunan Deli, pulau Sumatera. Selain itu, cerpen ini juga merupakan cerminan tentang besarnya kekuasaan kolonial Belanda sehingga dapat bertindak sewenang-wenang terhadap kaum buruhnya. Sementara itu, secara fungsi sosial sastra, karya sastra ini termasuk karya sastra yang dapat menjadi sebuah pengajaran yang menghibur pembacanya. Dengan demikian, cerpen “Kuli Kontrak” ini selesai dikritik dengan hasil yang positif.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Jassin, H.B. 1959. Tifa Penyair dan Daerahnya. Cet III. Jakarta: Gunung Agung.

Anonim. 1979. Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembanan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan oleh Melani Budianta. dari Theory of Literature (1977). Jakarta: Gramedia.

SUMBER LAMAN

http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/kisah-tak-terperi-kuli-hindia-belanda diakses pada Senin, 21 Desember 2015 pukul 18.37

Kaum Buruh Perkebunan Koloni

Kaum Buruh Perkebunan Koloni 1.1

Kaum Buruh Perkebunan Koloni

Kaum Buruh Perkebunan Koloni 1.2

Kuli Kontrak (Mochtar Lubis: 1959)

Kuli Kontrak (Mochtar Lubis: 1959)

Leave a Reply

Your email address will not be published.