Malam Ini Aku Tersedu, Ibu

“Masa kebiasaan ibu sendiri nggak tahu. Biasanya kan kalau ibu-ibu suka masak, atau belanja, atau apa. Lha kalau kebiasaan ibumu yang paling kamu ingat apa?”

Mungkin mudah untuk sebagian orang menjawab pertanyaan itu. Tidak untukku. Tidak untuk sebagian orang yang mungkin tertimpa nasib yang sama denganku.

Hari itu, aku menghadiri kuliah pagi. Dosen pengampu mata kuliah itu suka sekali memulai kuliah dengan hal-hal yang tidak terduga. Seperti pagi itu. Begitu ia meletakkan tasnya di kursi dosen, ia melangkah mendekat ke arahku kemudian bertanya,”Apa kebiasaan ibumu yang paling kamu ingat?” Aku diam. Mencerna pertanyaan dosenku dengan seksama. Aku menimbang-nimbang beberapa jawaban untuk satu pertanyaan sederhana itu. Ada keheningan yang cukup panjang. Rupanya hal itu membuat dosenku itu mengernyitkan dahi. Aku menghela nafas.

“Masa kebiasaan ibu sendiri nggak tahu. Biasanya kan kalau ibu-ibu suka masak, atau belanja, atau apa. Lha kalau kebiasaan ibumu yang paling kamu ingat apa?”

Entah kenapa tenggorokanku tercekat. Aku ingin memberikan jawaban namun aku tidak tahu mengapa tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Dosenku masih terus melihat ke arahku. Seolah-olah menagih jawaban.

Aku menghela nafas sebentar. Kemudian aku menggelengkan kepala. Dosenku itu makin mengernyitkan dahi. “Kalau kebiasaan bapakmu yang paling kamu ingat apa?” tanya dosen itu, masih kepadaku. Aku menimbang-nimbang sebentar. “Bapak saya suka membaca koran, Pak”, jawabku mantap, dan sedikit nyengir. Lalu dia kembali ke depan kelas. Aku tidak tahu apakah ia cukup puas dengan jawabanku atau tidak. Di depan kelas ia menerangkan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu. Entah ia sudah memulai kuliah atau masih membahas jawabanku atas pertanyaannya tadi.

Mungkin, tak ada yang menyadari aku berkaca-kaca.

Mungkin, tak ada yang menyadari aku menunduk, pura-pura mencatat. Aku sebenarnya sedang berusaha agar air mataku tidak jatuh. Aku tidak tahu mengapa aku menjadi begitu emosional hanya karena satu pertanyaan sederhana itu.

Ah, ibu.

img_0133-copy

Sudah sekian lama, ya sejak ibu pergi. Aku sepertinya terlalu cinta kepada ibu, sampai-sampai, walau ibu sudah lama pergi, aku selalu ingin menangis ketika sekelilingku melontarkan pertanyaan tentang ibu atau membicarakan segala hal tentang ibu-ibu mereka.

To be honest, ada sebagian hatiku yang menolak saat aku tiba-tiba pengen nangis hanya karena pembicaraan tentang ibu kadang menjadi perbincangan hangat di antara teman-temanku. “Apaan sih. Ibu pergi sudah lama sekali, masa sih masih mau nangis? Masa sih belum terbiasa?”. Iya, ini sudah hampir delapan belas tahun sejak ibu meninggal. Meninggalkan aku yang belum mekar dan adikku yang masih kuncup. Meninggalkan bapak sendirian. Benar-benar sendirian, karena setelah itu bapak ternyata tidak pernah ke lain hati. Secara rasional, dalam waktu selama itu harusnya aku sudah terbiasa dengan pembicaraan-pembicaraan tentang ibu yang aku tidak bisa masuk ke dalamnya. Aku harusnya sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan semacam kalo-ibumu-kerja-apa. Aku harusnya juga sudah terbiasa memulai perkenalan, untuk berteman maupun wawancara beasiswa, dengan menyebutkan namaku dan menjelaskan kembali keadaan kalau aku-hanya-punya-ayah-dan-ibuku-sudah-meninggal. Harusnya aku sudah terbiasa. Harusnya. Tapi ternyata tidak.

Bukan. Bukan karena tidak biasa. Kematian ibuku mungkin menjadi enigma yang memang diberikan Tuhan untuk kehidupanku, adik, dan bapak. Enigma yang mungkin tidak akan pernah terjawab. Sehingga aku, adik, dan bapak, serta mungkin orang-orang yang memiliki nasib sama denganku akan mencoba mengikhlaskan dengan pegangan,”Ya. Ini sudah takdir. Kita wajib mengimani rukun iman yang keenam, qada dan qadar.” Oleh karena itu, kami bertiga, kuat sampai sekarang mengarungi kesulitan-kesuitan di dalam keluarga kecil kami. Walaupun ya, kesulitan-kesulitan ini kok ya nggak habis-habis. Tapi, kami akan terus melewati ini, bareng-bareng.

Dan yah, to be fair, tumbuh tanpa seorang ibu adalah hal yang sulit. Sangat sulit. Aku tidak akan memaparkan segala ombak-badai-angin-kencang kehidupanku tanpa ibuku di sini. Yang jelas, sebagai seorang perempuan, akan sulit tentunya jika kamu tumbuh besar tanpa seorang ibu. Ketika kamu mulai pubertas, tidak ada yang mengajarimu pakai softex dengan benar, bagaimana cara membersihkannya, dan bagaimana bersucinya ketika sudah selesai berhadast. Tidak ada juga yang bisa ditanyai gimana caranya ngilangin jerawat. Ada, tapi jika kamu beruntung menemukan orang yang akan menasehatimu dengan kasih sayang seperti ibumu.

Ketika kamu mulai menginjak usia remaja, tidak ada tempat untuk membicarakan semua isi hati, unek-unek, mimpi-mimpi, dan juga target yang ingin kamu capai. Ada, tapi jika kamu beruntung menemukan orang yang tidak akan mencibiri mimpi-mimpimu. Ketika kamu mulai dewasa, tidak ada yang ramai menyuruhmu menyapu, mengepel, atau belajar memasak. Ada, tapi jika kamu beruntung menemukan orang yang dapat menyuruhmu karena peduli bukan meneriakimu karena benci.

Lebih dari itu. Aku selalu menganggap orang yang tumbuh besar dengan ibunya adalah orang yang beruntung. Mengapa? Aku kira jawabannya cukup jelas. Mereka bukan sekadar mempunyai orang tua, tapi juga punya teman hidup.

Aku selalu ingin menceritakan semua hal yang sudah aku lewati kepada ibuku sambil bermanja-manjaan di pelukannya. Ah, aku kadang ingin menanyakan hal-hal yang tidak mungkin aku tanyakan kepada ayahku. Dan yaaa… aku juga ingin memasak kue, menjahit baju, belanja buku, atau menanam pohon jeruk nipis di depan rumah bersama ibuku. Aku juga ingin menceritakan pacar pertamaku kepada ibuku, betapa tampannnya dia walaupun menyebalkan, tentang jarak umur kami, dan tentang hal-hal yang aku sukai darinya. Aku ingin menjadikan ibu tempat pertama aku mengadu ketika aku berantem dengan teman atau putus dengan dia. Pokoknya banyak yang ingin aku bagi dengan ibuku. Yah, dengan kata lain, ibu pokoknya jadi yang nomor satu.

Aku juga ingin tahu, ibu lebih suka pakai piyama atau daster. Aku ingin tahu, ibu lebih suka masak nasi pakai soblok atau pakai rice cooker. Aku ingin tahu, apakah ibu lebih suka menonton film romance atau comedy. Aku sih yakin kalau ibuku nggak akan suka sinetron. Aku juga yakin ibuku nggak suka nonton gossip. Mungkin, ibuku bisa jadi teman untuk nonton drama korea bareng. Lalu kita sama-sama akan mengagumi betapa gantengnya Lee Jong Suk.

Ah, tapi ibu pasti sudah bahagia di sana kan ya?

Ibu, anakmu sudah besar. Kita berdua sudah bisa lho, meringankan beban bapak. Kita sudah bisa mengurus diri kita sendiri. Jadi ibu tidak perlu khawatir. Ibu baik-baik di sana. Kami akan mengirimkan ayat-ayat terbaik sebagai bukti cinta kami untuk ibu.

Aku sayang ibu.

Selamat ulang tahun, ibu.

Setiap hari aku merindukanmu sampai-sampai sesak dadaku.

1 thought on “Malam Ini Aku Tersedu, Ibu

Leave a Reply

Your email address will not be published.