FAJR

Aku setuju. Sudah banyak penyair yang mengangungkan senja. Berfilosofis. Banyak puisi tercipta. Banyak angan yang digantungkan. Ia menjadi pujaan banyak orang.

Namun, senjaku hambar. Entah mengapa aku lebih suka menikmati udara fajar yang masih dingin. Aku suka mengambil air yang mengalir, membasuh muka, merasakan denyut nadi, degup jantung, serta setiap nafas yang masih bisa dihirup; agar lebih bersyukur menyambut hari.

Fajar pun mempersembahkan hal yang lebih berharga dari dunia seisinya. Dua rakaat dan salam untuk semua penghuni semesta sebelum Subuh ditunaikan. Lalu aku memeluk langit; merasakan hadirnya Allah Azza wa Jalla.

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. [Q.S. Al-Fajr: 27-28]

Saya, Ibu, Bapak, dan Salma: Catatan Perjalanan Hubungan Jarak Jauh Sebuah Keluarga

تَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ 

“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).”  [Q.S Al-Insyiqaaq: 19]

Ketika standar dalam logika mencintai itu diukur dari tingkat saling mengenal, berarti ada yang cacat pada saya. Begitu pun standar-standar lain dalam mencintai seperti kedekatan emosional, komunikasi, rasa memahami, dan sebagainya. Cacat; karena untuk mencintai keluarga saya, saya tidak memiliki semuanya.

Getir; saya dan Salma tidak pernah mengenal siapa sebenarnya ibu kami. Seperti apa ibu kami di mata dunia, seperti apa ia ketika ia marah, bagaimana ia menyikapi kami ketika kami nakal, makanan apa yang ia senangi, pengajian mana yang suka ia datangi, masakan apa yang sering ia sajikan, berapa lama ia menghabiskan waktu bila sedang belanja, dan hal-hal lain. Kami belum sempat berkenalan dan menyimpan beberapa hal dalam ingatan; tapi ibu sudah pergi. Oleh karena itu, ketika standar dalam logika mencintai adalah dengan ukuran seberapa mengenalnya kami; kau akan menemukan ada yang cacat dengan saya. Karena saya tidak mengenal ibu saya sendiri; tapi saya mencintainya. Saya yakin, Salma pun begitu.

Standar lain yang umumnya dimiliki oleh sebuah keluarga adalah kedekatan; baik secara fisik maupun emosional. Banyak keluarga yang hanya dekat secara fisik, namun tidak secara emosional. Banyak juga keluarga yang dekat secara emosional, namun secara fisik mereka berjauhan. Namun, yang terjadi pada kami selama hampir dua puluh tahun adalah kami tidak pernah tinggal berdekatan; satu rumah, satu atap, dan berbagi kelelahan.

Bagi kamu, para pasangan LDR, pasti sangat tahu rasanya asam garam pahit manisnya hubungan-jarak-jauh. Setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, mungkin masalah-masalah yang timbul akibat hubungan jarak jauh itu bisa diatasi. Saya masih ingat saya begitu merindui ayah saya setiap sore di depan rumah simbah. Berharap Bapak datang membawa boneka secara tiba-tiba, kemudian menangis ketika sampai malam Bapak tidak juga memunculkan wajahnya di rumah. Saya juga masih ingat, saya harap-harap cemas menunggu Bapak pulang ketika liburan semester dan lega sekali ketika muncul mobil dari arah utara menuju pekarangan rumah simbah; Bapak datang. Saya tidak peduli dengan oleh-oleh. Bagi saya ketika itu, yang penting Bapak di rumah.

Namun begitu menginjak remaja, hubungan jarak jauh pun tidak semulus masa sebelumnya. Banyak konflik kecil terjadi. Bapak pernah kesal karena ketika Bapak sering menelfon saya, saya beberapa kali tidak sempat mengangkat. Tentu saya tidak sengaja. Banyak kegiatan yang menyita waktu serta tidak setiap saat bisa memegang hp menjadi alasannya. Tapi Bapak tetap kesal. Beliau mengungkit-ungkit bila sedang liburan saya intens terus dengan hp, namun ketika Bapak nelfon saya mangkir. Ya; memang kecemburuan Bapak dan sifat posesif kepada anak perempuannya adalah hal yang lumrah. Namun, bagi saya ketika itu, lebih baik saya tidak ditelfon ketika Bapak sedang kesal.

Saya juga pernah beberapa kali marah karena Bapak batal mengambil raport atau datang terlambat di acara kelulusan–padahal saya berkesempatan untuk memberikan pidato–membuat saya ngambek dan kesal terhadap Bapak. Tentu bukan karena alasan sepele Bapak terlambat. Ada beberapa kepentingan yang harus beliau selesaikan terlebih dulu. Tapi saya tidak mau tahu, saya marah dan menganggap Bapak tidak pengertian di hari penting saya. Ya; saya dan Bapak memang sering konflik dan berbeda pedapat dalam perjalanan hubungan kami karena kami tidak saling tahu keadaan yang sebenarnya jauh di sana. Pun saya yakin hubungan Bapak dengan Salma.

Kalau hubungan saya dengan Bapak begitu; apalagi hubungan saya dengan Salma. Berkali-kali saya malas berbincang dengannya karena sikapnya yang acuh tak acuh. Berkali-kali juga ia sebal dengan saya karena menganggap saya superior yang suka seenaknya. Akhirnya karena kami sama-sama malas menjalin komunikasi, saling menanyakan kabar, kebanyakan gengsi. Akibatnya, hubungan kami hambar. Konsep my sister is my bestfriend ever sepertinya terlalu muluk untuk saya dan Salma. Bisa saling tidak kaku untuk menanyakan satu dua hal saja sudah cukup bagus untuk kami. Apalagi dengan jarak yang terbentang dalam hampir tujuh tahun terakhir.

Percayalah, hubungan jarak jauh dalam waktu yang cukup lama itu tidak mudah untuk dijalani. Rindu sudah hambar untuk diungkapkan secara eksplisit. Saling mengungkapkan rindu, ah, sepertinya sudah bukan lagi masanya bagi kami. Pun sama halnya dengan banyak menelfon dan menanyakan satu dua hal saja juga sudah bukan lagi masanya. Lalu bagaimana keluarga ini akan bertahan dalam pahitnya hubungan-jarak-jauh ini?

Saya tentu pernah merasa bahwa keluarga saya adalah keluarga yang gagal. Kami berpencar, tidak saling mengenal satu dengan yang lain, serta tidak bertemu dan bicara untuk waktu yang lama. Tidak seperti keluarga normal yang lain. Saya katakan normal karena saya sadar, tidak sepanjang waktu keluarga harmonis. Pasti ada waktu-waktu tersulit yang harus dilalui oleh setiap keluarga. Namun, masa-masa sulit itu tidak sepanjang kami–dan mungkin keluarga lain yang bernasib sama dengan kami. Yang paling pahit dari masa-masa sulit yang berlangsung lama sekali adalah–mungkin saja–kami bertiga lebih dekat kepada teman dan rekan kerja kami.

Namun, bukankah darah lebih kental daripada air? Tentu apabila ada kesempatan kami berada dalam satu atap yang sama dalam jangka waktu yang agak lama, bisa jadi kami tidak bisa lagi terlepas dan terpencar lagi seperti ini. Benang merahnya; jauh di dalam hati kami, kami saling mencintai.

Bagi saya sudah cukup; menyisakan dua-tiga jam sekali waktu untuk sekalian menanyakan kabar dan membicarakan apa saja yang terjadi ketika kami saling tidak tahu menahu soal masing-masing. Bagi saya sudah cukup lega ketika mengetahui bahwa Bapak dan Salma baik-baik saja.

Terpisah jarak dan waktu ini tentu menyiksa. Ketika lelah dan ingin pulang, kami tidak tahu mana yang harus kami tuju. Hubungan-jarak-jauh yang sudah kami tempuh sejauh dan selama ini membuat kami tidak tahu, di mana sebenarnya rumah kami. Mungkin titiknya hanya satu; suatu saat nanti kami akan pulang pada ibu.

Oleh karena itu, sekali lagi; kedekatan secara fisik dan emosional tidak mempengaruhi cara mengasihi kami. Saya tidak dekat secara fisik dan emosional dengan Bapak dan Salma, tapi tak perlu diragukan; jauh di dalam hati, saya sangat mencintai mereka.

Kalau kata orang, “Kita tidak bisa memilih siapa keluarga kita karena mereka adalah hadiah dari Tuhan untuk kita.”

Qadarullah, dengan izin Allah Yang Maha Pengasih, semua ini terjadi. Dengan kehendak Allah Pemilik Semesta Raya, semuanya sudah ditakdirkan. Semoga Allah pun menakdirkan hubungan jarak jauh ini terjadi di dunia saja agar kelak di akhirat, saya, Ibu, Bapak, dan Salma bisa berkumpul di surga-Nya; membangun rumah yang hangat milik kami sendiri, kemudian menjadi keluarga yang tidak pernah menjalani hubungan-jarak-jauh lagi.

Semoga semesta turut mengamini kerinduan ini.

Allahuma Aamiin.

KELUARGA CEMARA

 

Cemara adalah anak kedua dari keluarga Abah dan Emak. Keluarga ini dikepalai oleh Abah yang berprofesi sebagai penarik becak dan didampingi oleh Emak sang Ibu yang juga ikut serta mencari rupiah dengan membuat Opak; makanan yang berbahan ketan dan dipanggang di atas bara. Opak-opak tersebut kemudian dijual oleh Euis, kakak pertama Cemara sekaligus anak sulung Abah dan Emak. Anak bungsu di keluarga mereka bernama Agil. Keluarga sangat sederhana ini hidup mengandalkan kejujuran yang ternyata tidak selalu mulus. Tapi potongan-potongan kisah mereka selalu hangat dan dekat.

Abah dan Emak adalah potret orang tua kebanyakan; berpeluh demi kelangsungan bahtera keluarga kecil mereka. Siang malam bekerja; kadang pulang masih berdebat tentang kesulitan ekonomi yang dialami keluarga, tentang betapa inginnya Abah dan Emak membahagiakan ketiga anak mereka walau terhalang kejamnya rupiah.

Saya bahagia. Potongan cerita serial keluarga yang lagunya sangat hits pada masanya itu ternyata terekam dalam sebuah buku. Terima kasih, Arswendo Atmowiloto karena sudah menghadirkan sebuah keluarga hangat di tengah hari-hari yang penat. Membaca ini kembali menyadarkan saya, kok akhir akhir ini suka baca buku yang bertema keluarga? Terus kok yang diceritakan dalam dua serial favorit saya ini kebetulan anak sulungnya perempuan; ia kuat bahunya, tegar punggungnya, serta ikut menjadi pilar pertama rumah kedua orang tuanya. Duh, jadi sayang sama Euis dan Eliana karena senasib (cek post serial Anak-anak Mamak) huehe.

Alasan suka baca buku bertema keluarga ya, hm, setelah ku pikir-pikir ada dua; mungkin karena rindu dengan Bapak, Ibuk, dan Salma atau…. mungkin saja karena ingin segera berkeluarga *eh *kok *gitu *sih

Semoga masing-masing dari kita senantiasa memiliki keluarga yang hangat dan dekat, ya; seperti Keluarga Cemara misalnya. Karena….. harta yang paling berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah adalah keluarga. Puisi yang paling bermakna adalah keluarga. Mutiara tiada tara adalah KELUARGA.

Ea. Nyanyi.