Kehidupan Seorang Tukang Masak di Sebuah Sekolah Berasrama

Kami memanggilnya Bude, walaupun kami tahu tidak ada satu pun dari kami yang benar-benar satu darah dengannya. Namun demikian, Bude benar-benar seperti Bude kami. Bude yang selalu mengasihi kemenakan-kemenakannya. Selain itu, Bude juga memberikan porsi waktunya untuk kami begitu banyak daripada untuk anaknya sendiri. Bude tidur di rumah kami lebih sering daripada tidur di rumahnya sendiri. Aku sempat berpikir, mungkin ia juga pantas dengan sebutan “Mamak” atau “Embok”.

Bude adalah wanita yang berumur hampir setengah abad. Bude sudah lama hidup dengan mengasuh anaknya seorang diri. Suaminya lebih dulu pergi dipanggil yang Maha Kuasa. Kami mengenal Bude sejak asrama sekolah mulai dipindah ke gedung belakang. Budelah yang setiap hari menyiapkan makan pagi dan makan malam untuk kami, anak-anak yang tinggal di bawah atap yang sama.

Ketika sepertiga malam datang, wanita itu selalu sudah bangkit dari papan tempat ia merebahkan tubuh di malam hari. Suara pisau dapur terdengar sampai lorong-lorong kamar. Dapur terasa hidup pada saat itu. Ada tiga kompor di dapur menemani wanita itu bekerja. Kompor pertama dinyalakan untuk digunakan merebus air minum. Kompor berikutnya dinyalakannya untuk menanak nasi. Kompor ketiga untuk memasak lauk-pauk. Tangannya bekerja cepat mengupas bawang merah dan bawang putih serta meracik bumbu-bumbu lain. Ia nyaris tak pernah menghiraukan tangannya selalu bau bawang setiap paginya. Bahan makanan diraciknya juga dengan cepat dan cekatan.

Ia tidak pernah mengeluh walaupun hampir setiap hari ia selalu menanak nasi lebih dari 3 kilogram. Ia juga meracik banyak sekali bumbu dan bahan makanan untuk lauk pauk. Ia juga mengangkat dua panci besar air yang dimasak untuk dituang ke wadah besar tempat air minum. Ia juga mencuci bekas wadah sayur semalam. Kegiatan itu berulang kali ia lakukan setiap hari.

Ketika pagi datang, semua makanan sudah siap. Nasi sudah tersedia, lauk sudah matang, air sudah siap untuk diminum. Anak-anak mengantri mengambil nasi dan lauk pauk untuk sarapan. Bude merasa senang ketika anak-anak menyantap makanannya dengan lahap dan menghabiskannya. Namun demikian, tidak jarang ada anak yang mengeluhkan masakannya dan memilih untuk sarapan di kantin atau warung depan asrama.

Akan tetapi, Bude tidak pernah marah. Sekali pun ada anak yang bilang masakannya kurang enak, keasinan, kurang garam, kurang gizi, bahkan kurang banyak, bude tidak pernah marah. Entahlah bagaimana di dalam hatinya. Aku harap tidak ada kata-kata yang membuat bude sakit hatinya. Tega sekali jika ada kata-kata yang membuatnya sakit hati. Padahal, wanita itu baru istirahat ketika semua anak sudah selesai sarapan. Saat semua anak mulai berangkat ke sekolah, ia membersihkan dan membereskan semua peralatan dapur. Ia merebahkan diri sejenak setelah semuanya beres.

Sebelum matahari tepat di atas kepala, Bude bangkit lagi untuk menuju ke pasar. Ia berbelanja bahan makanan untuk makan malam dan sarapan esok harinya. Setelah dari pasar, bude mulai lagi untuk memasak makan malam. Ia baru akan beristirahat ketika anak-anak selesai menyantap makan malamnya.

Ternyata, ada manusia biasa selain Presiden, Bupati, Duta Besar, atau Pilot, yang hanya punya waktu untuk tidur kurang dari 5 jam setiap harinya. Wanita itu hanya berpikir untuk menyekolahkan anak tunggalnya setinggi mungkin. Ia rela tidak tinggal di rumahnya dan memilih tinggal di asrama ini. Ia rela banting tulang siang dan malam. Tidak usah diceritakan untuk apa, kau pasti sudah tahu.

Bude, begitu kami memanggilnya, telah berjasa banyak untuk kelangsungan hidup anak-anak yang tinggal di asrama ini. Bude selalu memastikan tidak ada anak yang tidak mendapatkan jatah makan. Semoga amalnya dapat mengantarkannya pada kebaikan-kebaikan lain untuk kehidupannya.

chef

Ini bukan Bude ya. Jangan bayangkan bude seperti ini. Aku tidak punya foto dengan Bude.

Leave a Reply

Your email address will not be published.