Kotak Makan

Hal paling romantis yang terjadi padaku hari ini adalah perkara bekal makan siang. Mungkin salah satu dari kamu pernah mengalaminya. Entah dengan temanmu, atau mungkin ibumu.

Kotak makan yang seringkali terlambat dikembalikan

Jadi, ada seseorang yang datang membawa bekal, tapi dia malah pesan siomay dan memberikan bekalnya padaku. “Kamu ngga usah pesen,” katanya, ketika siang tadi kami ketemuan dengan seseorang di sebuah tempat makan pada jam makan siang. Karena beberapa hal, uang di dompetku akhir-akhir ini memang menyedihkan. Aku harus sangat-sangat berhemat. “Kamu maem ini aja, aku yang pesen. Pesen apa ya? Hm. Siomay deh, siomay,” katanya.

Orang yang waktu itu kami temui agak heran, “Lah, kamu bawa bekal, tapi kamu pesen makan?”
Lalu dia cuma nyengir, menyerahkan kotak makan siangnya padaku yang berisi nasi lengkap dengan lauk pauk dan sayurnya. Sangat lumayan untuk mengganjal perut sampai malam. “Habisin,” katanya singkat, dan menolak ketika aku minta dia untuk ikut makan bekalnya. “Udah, makan aja, makan.” Lalu dia menyantap batagor pesenan masnya yang lama banget dianternya. Entah kenyang, entah enggak.

Mungkin gini ya rasanya, dibohongin ibu sendiri perkara makanan. Bohong-bohong dikit biar anaknya bisa makan. Bohong-bohong dikit biar anaknya kenyang. Ah, belom pernah aku merasakan ini.

Terima kasih ya, bukan hanya tentang makanannya, tapi untuk momennya.
Semoga Allah limpahkan kebaikan-kebaikan selalu, buatmu. I do love you.

Surat Cinta Untukmu, Warung Indomi, Angkringan, dan Gerobak Bakmi Jawa di Kota Ini

Angkringan sudut kota malam itu begitu hangat. Bersama dingklik panjang, gerobak, dan meja kayu. Kadang ada kursi plastik. Kadang ada tikar. Tak lupa juga sinar-sinar lampu temaram.

1748589_20150208095541

Sumber gambar : http://www.kaskus.co.id/thread/54d7481612e25722068b4573/jogja-istimewa-filosofi-kesederhanaan-angkringan/

Kita berdua suka meneguk segelas es teh walau saat itu adalah malam hari. Kadang air jeruk hangat, atau pernah juga jahe yang diseduh tidak terlalu panas. Kita berdua juga suka menyantap sebungkus nasi kucing. Kamu sering menghabiskan dua atau tiga bungkus sekali santap. Aku tahu sekali kalau kamu sangat suka sambal teri. Kalau stoknya habis, kamu sering menggerutu dan terpaksa menyantap sebungkus nasi lauk oseng tempe dengan bersungut-sungut. Aku tidak suka mendoan, kamu juga. Aku lebih suka bakwan, tapi kamu lebih suka tahu isi.

Kadang kamu membawaku ke warung indomi di pojok perempatan kota ketika aku bilang aku jenuh dengan nasi. Kita lalu dengan senang hati pergi ke sana untuk menyantap semangkuk mi dan nonton tv. Kadang, di warung indomi itu, para pengamen berdatangan silih berganti, termasuk para banci-banci yang sedang mencari sesuap nasi. Banci-banci itu menggodamu. Kadang aku sebal. Tapi pantas jika para banci itu menyukaimu. Kamu memang tampan dan tak segan-segan mengeluarkan beberapa koin rupiah dari kantong tas kuliahmu untuk mereka.

Kalau kamu sedang pusing, aku suka mengajakmu ke gerobak bakmi jawa yg luarbiasa enaknya. Sepiring bakmi jawa rebus yang panas dan berasap akan meringankan pusingmu karena aktivitasmu yg padat di kampus. Penjualnya ibu-ibu separo baya dan suaminya. Terkadang kita membicarakan mereka di tengah-tengah menyantap sepiring bakmi. Suami istri itu begitu kompak. Walau repot karena harus momong anaknya yang rewel, sang istri tetap dengan sabar melayani pembeli. Sang suami dengan suara khasnya sering berkata,”Adek diem dulu to, bapak lagi nggoreng. Nanti ya, beli lolinya nanti.” Betapa sungguh-sungguh mereka mencari nafkah. Terkadang, kita bertanya-tanya, kalau pagi apakah mereka berdua masih kerja juga? Terus bumbu sebanyak itu dibikinnya pas kapan ya? Terus mereka tiap hari belanja dong berarti? Eh, apa mereka memang punya stok?

Yang aku ingat, pernah suatu ketika ibunya memberikan es teh gratis untuk kita berdua.

Pernah juga, waktu matahari sedang terik-teriknya, kamu menjemputku di perbatasan kota ketika aku kembali dari desa. Kita mampir di penjual es dawet pinggir jalan. Penjualnya ibu-ibu yang wajahnya dipenuhi guratan, namun sangat ramah. Di tengah keramaian kota, segelas es dawet dengan gula jawa adalah ramuan top pelepas dahaga.

Dengan diselingi obrolan-obrolan kecil, es dawet terasa lebih segar. Ibu itu bertanya,”Mbaknya kuliah di mana?” Lalu aku menyebutkan salah satu perguruan tinggi negri di kota ini sebagai jawabannya. Ibu itu kemudian menjawab lagi,”Wah, mbaknya pinter berarti.” Aku nyengir. Kamu juga. Jawaban yang sangat klasik ketika kita menyebutkan nama kampus kita. Padahal tidak semua orang yang kuliah di sana pandai seperti yang ibu itu kira. Aku contohnya. Aku biasa saja. Aku bahkan berusaha keras untuk mengikuti perkuliahan dan menyelesaikan tugas-tugasku. Tapi kamu tidak, kok. Kamu pintar. Nilaimu selalu bagus. Hm, lupakan soal nilai. Kemudian yah, obrolan kemudian mengalir dengan sendirinya. Kita lalu tahu bahwa ibu itu mempunyai satu anak perempuan yang masih SMK dan bercita-cita masuk di perguruan tinggi tempat kita berkuliah. Kemudian kita mengamini bersama doa ibu itu.

Kamu pernah bilang, berkencan di warung indomi, angkringan, tenda bakmi, atau minum es dawet di pinggir jalan memang tak seberapa romantis dibanding dengan minum segelas kopi dan sepotong kue donat di gedung-gedung bertingkat gemerlapan, atau di rumah berkaca dengan lampu indah kelap-kelip. Iya aku tahu, bahkan tanpa kamu bilang. Aku tahu betul aku tidak butuh pergi ke tempat-tempat itu karena kamu juga tidak menunjukkan minatmu ke sana.

Kamu kemudian bilang, dengan berkencan di warung indomi, angkringan, tenda bakmi, atau minum es dawet di pinggir jalan, sebenarnya kita sudah turut membantu kelangsungan usaha para pedagang kecil. Siapa tahu, sebungkus dua bungkus nasi yang kita lahap dapat membantu menyekolahkan anak-anak mereka. Siapa tahu, segelas dua gelas es dawet yang kita minum, dapat membantu mereka membelikan obat untuk keluarga yang sakit. Siapa tahu, dengan jajan di warung indomi kita dapat membantu mas-mas penjualnya mengirimkan sejumlah rezeki untuk ibu di kampungnya. Siapa tahu, dengan membeli sepiring bakmi jawa kita ikut membantu sepasang suami istri membahagiakan keluarga kecil mereka.

Siapa tahu, hidup mereka hanya bergantung pada dagangan yang mereka jajakan di gerobak mereka. Siapa tahu, dengan kita berkunjung ke warung-warung kecil mereka, pengangguran di negeri ini sedikit demi sedikit bisa teratasi.

Aku hampir tidak peduli jika itu semua hanya alibimu untuk menutupi kebokekan agar terlihat elegan. Aku malah sangat terkesima.

“Kapan-kapan bolehlah kita makan es krim di sana.” katamu, sambil menunjuk bangunan megah yang ada di seberang jalan.

Mungkin karena itu, setelah beberapa waktu berlalu; meskipun aku pernah pergi makan dengan beberapa teman lelaki dan kamu pun juga pergi berkencan dengan perempuan lain beberapa kali, aku tetap menyukaimu.

Salam

Untuk warung indomi, angkringan, gerobak bakmi, dan juga untukmu.

Novel Sabtu Bersama Bapak Karya Adhitya Mulya: Pelajaran dari Seorang Bapak

Bapak minta kalian bermimpi setinggi mungkin. Dengan syarat, kalian merencanakan dengan baik. Bapak minta kalian bermimpi setinggi mungkin. Dengan syarat, kalian rajin dan tidak menyerah. Bapak minta kalian bermimpi setinggi mungkin. Tapi mimpi tanpa rencana dan action hanya akan membuat anak istri kalian lapar. Kejar mimpi kalian. Rencanakan. Kerjakan. Kasih deadline.”

DSC_8602

Sebagai mahasiswa di jurusan sastra Indonesia, saya mengakui bahwa di sekeliling saya banyak sterotipe yang agak ‘malesi’ mengenai karya-karya sastra populer. Banyak orang dari jurusan saya, entah itu dosen atau mahasiswa, merasa agak malas untuk membaca karya sastra populer. Kalau pun terpaksa harus baca, paling ya, dibuka halaman pertama aja. Habis itu, langsung menuju halaman terakhir. Halaman kedua dan seterusnya kapan-kapan aja nek selo. Toh, ceritanya bisa ketebak, kan? 😉

Karya sastra populer seringkali diidentikan dengan karya sastra yang ‘picisan’, ‘menye-menye’, ‘galau’, ‘alay’, dan sebagainya. Memang iya sih. Karya sastra populer ada karena mengikuti perkembangan budaya populer masa kini. Ada dan berkembangnya karya sastra populer juga didasari banyaknya minat di masyarakat. Oleh karenanya, budaya sastra populer berkembang. Ada yang pernah dengar istilah novel teenlit? Itu salah satu jenis sastra populer untuk remaja. Selain teenlit juga ada novel momlit; yang disasarkan untuk ibu-ibu rumah tangga dan mbak-mbak kantoran dan berkarir tapi masih jomblo, novel chicklit, novel metropop, dan sebagainya. Itu paparan singkat mengenai sastra populer menurut versi saya sih, berdasar buku-buku yang kebetulan saya baca. Mohon maaf kalau ada kesalahan 🙂

Novel populer tentu enak dibaca dan bawaannya seneng aja. Ringan. Bisa untuk hiburan kalau sedang suntuk. Tapi karena mahasiswa sastra Indonesia itu kadang sok-sokan, ketika baca novel pop, mereka suka kasih komentar-komentar, keluhan-keluhan, omelan-omelan, yang sebenarnya wajar saja ditemukan di novel populer. Termasuk saya. Saya bukan orang yang anti novel-novel pop. Namun, saya juga suka malas sih, kalau baca novel-novel pop yang benar-benar pop. Tidak semua novel pop suka saya baca. Ada beberapa novel pop yang saya suka dan saya sangat rekomendasikan teman-teman untuk membacanya. Bisa juga lho, novel populer mengandung pesan-pesan dan pelajaran yang bisa dipetik untuk kehidupan sehari-hari. Pelajaran dan pesan yang dituangkan ke novel populer cenderung cepat sampai kepada masyarakat, terutama yang baca novelnya, karena dikemas secara menghibur. Salah satu novel populer favorit saya adalah novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya. Berikut sedikit ulasan novel tersebut.

Novel Sabtu Bersama Bapak adalah karangan dari penulis Adhitya Mulya dan diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2014. Novel ini menceritakan tentang kisah seorang bapak, sebut saja Pak Gunawan, yang meninggalkan istirinya, Bu Itje, dan kedua jagoan mereka, Satya dan Cakra. Pak Gunawan divonis kanker dan umurnya tidak panjang lagi. Namun, Pak Gunawan adalah orang yang mumpuni dalam merencanakan sesuatu. Ia adalah orang yang selalu mempunyai rencana yang digunakannya untuk menghadapi segala kondisi di masa yang akan datang. Walau sudah divonis bahwa umurnya tinggal satu tahun lagi, ia mempersiapkan segala sesuatu untuk masa depan keluarga kecilnya, termasuk untuk pendidikan dua jagoannya. Bukan hanya secara material saja, namun Pak Gunawan juga mempersiapkan bekal dalam bentuk nasihat yang dituangkannya ke dalam sebuah video. Pak Gunawan sadar bahwa ia tidak bisa membimbing dan membesarkan anak-anaknya secara langsung. Di masa yang akan datang, akan banyak pertanyaan-pertanyaan yang akan keluar dari Satya dan Cakra dan tidak bisa dijawab sendiri oleh sang ibu. Oleh karena itu, Pak Gunawan merekam semua nasihat-nasihat untuk diberikannya kepada Satya dan Cakra. Bukan itu saja, Pak Gunawan juga berharap ia bisa menemani kedua jagoannya ini tumbuh hingga dewasa, walaupun tidak secara langsung.

Ketika Pak Gunawan sudah pergi meninggalkan mereka bertiga, Ibu Itje membimbing mereka untuk menonton video dari bapak. Namun, Bu Itje memberikan syarat untuk dapat menonton video tersebut. Satya dan Cakra hanya diperbolehkan untuk menonton video dari bapak pada hari Sabtu. Hal ini dipesankan oleh Pak Gunawan agar Satya dan Cakra tetap belajar dan bermain pada hari-hari biasa. Satya dan Cakra tidak keberatan, bahkan mereka bersemangat sekali menyambut datangnya hari Sabtu. Sabtu bersama bapak.

Video dari Pak Gunawan tersebut menemani Satya dan Cakra tumbuh menjadi pria dewasa. Satya bekerja di sebuah perusahaan kilang minyak terkemuka di Denmark. Ia tinggal bersama istrinya, Rissa, dan ketiga buah hatinya, Ryan, Miku, dan Dani. Cakra yang diusianya yang sudah menginjak kepala tiga, akhirnya menemukan jodohnya dengan kebetulan-kebetulan yang manis, walau penuh perjuangan. Satya yang sudah menjadi seorang suami dan bapak untuk ketiga anaknya pun, harus bisa melakukan tugasnya dengan baik sebagaimana Bapaknya ajarkan. Selain itu, mereka berdua juga sangat menyayangi ibunya.

Novel ini banyak mengajarkan hal-hal tentang pengasuhan dan pendidikan anak sampai anak tersebut mencapai kedewasaan personal. Bahkan ketika orang tua sudah meninggal, anak tetap mendapatkan pelajaran pertama dari orang tuanya. Di novel ini juga banyak dibahas masalah pria ketika menginjak dewasa; seperti bagaimana menyusun rencana kehidupan yang matang ketika ia hendak menikahi seorang gadis, bagaimana sikap ketika menjadi kepala keluarga, bagaimana menjadi sosok ayah yang baik, dan bagaimana menjadi seorang suami yang siap melindungi dan menafkahi.

Selain bacaan yang menghibur, novel ini juga mengandung banyak pelajaran yang bisa diambil. Di novel ini memang banyak dibahas mengenai seorang pria yang baik dan bertanggung jawab. Akan tetapi, pembaca juga dapat mengambil beberapa pelajaran mengenai cara mencari pasangan yang baik dan ideal, tentang persiapan membangun sebuah keluarga, tentang pola pengasuhan dan pendidikan anak, tentang sosok seorang bapak yang baik, dan arti kekeluargaan yang sesungguhnya. Adhitya Mulya menulis dan mengemas kisah ini dengan sangat baik. Lucu, haru, dan menarik. Antusiasme pembacanya sangat tinggi dan membuat novel ini juga layak dijadikan film. Selain itu, kutipan-kutipan yang ada di dalam novel ini juga quotable banget buat dijadikan caption di instagram, path, atau tumblr.

Meminta maaf ketika salah adalah wujud dari banyak hal. Wujud dari sadar bahwa seseorang cukup mawas diri bahwa dia salah. Wujud dari kemenangan dia melawan arogansi. Wujud dari penghargaan dia kepada orang yang dimintakan maaf.”

atau ini,

Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain”

Selamat membaca!