Namanya Putri

Dia datang dari pulau Bali. Bukan suku Bali asli. Orang tuanya asli Jawa namun sudah lama bekerja di Bali. Aku tidak ingat betul kapan pertama kali aku berbicara dengannya. Aku tahu namanya Putri setelah perkuliahan hari pertama dilaksanakan. Nama lengkapnya Putri Aprilia. Kulitnya coklat sawo matang. Matanya bulat dan bersahabat. Bola matanya hitam pekat. Bentuk mukanya tidak terlalu lonjong, tapi juga tidak terlalu bulat. Tingginya rata-rata. Aku tidak tahu seperti apa rambutnya karena ia mengenakan jilbab. Ketika ia melemparkan senyum, terlihat bahwa ia adalah seseorang yang sangat tulus. Kau harus melihatnya sendiri.

Ya, ia datang dari pulau Bali. Ia berhasil meraih satu kursi di perguruan tinggi yang terkenal di seluruh negri. Besar tekadnya untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Besar pula ambisinya untuk mengejar cita-cita yang sudah ia bawa dari pulau di seberang sana. Oleh karena itu, ia datang ke Yogyakarta dengan bahagia.

Beberapa lama setelah proses orientasi mahasiswa baru, Putri merasakan hal yang lazim dirasakan mahasiswa rantau lainnya. Orang-orang menyebutnya homesick. Rindu orang tua, rindu rumahnya, rindu kakaknya, rindu kamar tidurnya, rindu lingkungannya, rindu teman-temannya, dan juga rindu pada hal-hal yang ia tinggalkan di sana. Ketika diantar ke Yogyakarta oleh kedua orang tuanya, banyak pesan-pesan yang ditinggalkan oleh mereka. Bukan hanya pesan, namun juga doa dan restu. Orang tuanya meninggalkan Putri di sini dengan rasa percaya yang besar bahwa putri bungsu mereka akan hidup dengan baik. Dengan bekal restu orang tuanya itu, Putri yakin bahwa dia bisa hidup dan belajar dengan baik, walau tanpa orang tua di dekatnya. Kemudian ia bangkit. Banyak hal yang harus ia raih di sini.

Selama semester pertama berlangsung, Putri tinggal bersama sepupunya di kawasan Condong Catur. Semua berjalan baik-baik saja. Semua proses perkuliahan ia ikuti dengan baik. Putri termasuk anak yang aktif di kelas. Bukan hanya aktif di kelas saja, ia juga mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan seperti kepanitian HMJ dan ikut bergabung di Lembaga Eksekutif Mahasiswa. Semua aktivitas itu ia ikuti dengan baik. Putri juga bergaul dengan banyak teman dan mengobrol dengan banyak orang. Sekali lagi, semua berjalan baik-baik saja sesuai dengan niat awalnya untuk menuntut ilmu dan meraih cita di kota ini.

Menginjak semester kedua, Putri mengabarkan padaku bahwa ia akan pindah tempat tinggal karena suatu alasan tertentu. Begitu juga dengan Mbak Galih, sepupunya yang selama enam bulan ini tinggal bersamanya.

Oh, iya. Aku lupa sesuatu. Putri mempunyai seorang kakak laki-laki yang juga menuntut ilmu di kota ini, namun berbeda kampus. Kakak laki-lakinya tinggal di rumah neneknya yang terletak di daerah Taman Siswa. Sebenarnya, daerah itu mempunyai jarak tempuh yang cukup jauh, baik ke kampus kakaknya maupun ke kampusnya sendiri. Namun, mau tidak mau, ia harus pindah. Pendek kata, ia tinggal bersama kakaknya di rumah neneknya itu mulai dari awal semester dua.

Pepatah yang berbunyi, “Manusia hanya bisa merencakan, tapi tetap Tuhan yang menentukan” itu berlaku untuk Putri. Dari awal, ia mempunyai niat menuntut ilmu dan mengembangkan diri di kampus. Namun, Tuhan memberinya tanggung jawab dan amanah lain yang mungkin tidak diberikan Tuhan kepada sembarang orang.

Putri tidak terjebak. Tuhan sudah menggariskannya. Dari awal semester dua hingga hari ini, Putri tinggal bersama kakak laki-laki dan neneknya. Neneknya sudah tua. Usianya hampir tujuh puluh lima tahun. Sebelum Putri dan kakaknya datang ke kota ini, neneknya tinggal sendiri. Namun, karena usianya semakin tua, kesehatannya mulai tidak stabil. Mungkin karena itu, Tuhan mengirimkan Putri dan kakaknya untuk menjadi malaikat yang senantiasa merawat dan menemani nenek di hari tuanya.

Tentu saja dengan keadaan yang demikian, Putri tidak lagi dapat berkegiatan di kampus terlalu sering. Ia sering datang hampir terlambat setiap kuliah. Bukan karena ia malas-malasan. Ia selalu bangun pagi untuk memasak air, menanak nasi, mencuci piring, membersihkan rumah, mengantar neneknya mandi, dan menyiapkan lauk pauk untuk neneknya. Setelah semuanya siap, ia baru akan mengurus dirinya sendiri dan bersiap untuk kuliah. Hal itu berlangsung setiap hari. Di saat teman-teman lain sibuk ke perpustakaan, rapat, diskusi, nongkrong, main, dan sebagainya, Putri harus cepat-cepat pulang ketika kelas selesai. Ia harus memastikan neneknya makan dengan baik dan tidak terjadi sesuatu apapun.

Jarang sekali mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua memiliki kehidupan yang demikian. Sebagian perantau berjuang untuk dirinya sendiri agar dapat hidup dengan baik, meraih IPK bagus, aktif di organisasi kampus, dan mungkin juga kerja paruh waktu. Namun, Putri tidak. Ia merantau, menuntut ilmu, juga merawat neneknya setiap hari. Ia tak pernah mengeluhkan waktunya yang seharusnya bisa untuk ke perpustakaan, pergi main, atau ikut kegiatan kampus seperti teman-temannya, terpakai untuk menemani neneknya di rumah. Aku yakin, walaupun ia tak lagi bisa sering berkegiatan di kampus seperti yang ia niatkan, ia akan mendapatkan lebih dari niatnya. Tuhan memang bijaksana. Belum tentu orang lain dapat seperti Putri dan kakaknya. Mereka merawat neneknya yang makin hari makin menua tanpa mengeluh.

Putri pernah bilang padaku begini, “Aku percaya setiap perbuatan yang kita lakukan akan kembali lagi pada kita, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk”. Iya. Benar. Selama kita berbuat baik, maka kebaikan-kebaikan akan selalu mengelilingi kita.

Oh iya. Aku lupa. Di awal sudah kukatakan, ketika Putri melemparkan senyum, akan terlihat bahwa ia adalah orang yang sangat tulus. Itu benar. Seratus persen benar. Kau tidak percaya? Silakan berkenalan dengannya.

20151216_113023Ini aku dan Putri. Kami teman baik.

Aku percaya setiap perbuatan yang kita lakukan akan kembali lagi pada kita, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk (Putri, 2015)

Leave a Reply

Your email address will not be published.