Saya, Ibu, Bapak, dan Salma: Catatan Perjalanan Hubungan Jarak Jauh Sebuah Keluarga

تَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ 

“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).”  [Q.S Al-Insyiqaaq: 19]

Ketika standar dalam logika mencintai itu diukur dari tingkat saling mengenal, berarti ada yang cacat pada saya. Begitu pun standar-standar lain dalam mencintai seperti kedekatan emosional, komunikasi, rasa memahami, dan sebagainya. Cacat; karena untuk mencintai keluarga saya, saya tidak memiliki semuanya.

Getir; saya dan Salma tidak pernah mengenal siapa sebenarnya ibu kami. Seperti apa ibu kami di mata dunia, seperti apa ia ketika ia marah, bagaimana ia menyikapi kami ketika kami nakal, makanan apa yang ia senangi, pengajian mana yang suka ia datangi, masakan apa yang sering ia sajikan, berapa lama ia menghabiskan waktu bila sedang belanja, dan hal-hal lain. Kami belum sempat berkenalan dan menyimpan beberapa hal dalam ingatan; tapi ibu sudah pergi. Oleh karena itu, ketika standar dalam logika mencintai adalah dengan ukuran seberapa mengenalnya kami; kau akan menemukan ada yang cacat dengan saya. Karena saya tidak mengenal ibu saya sendiri; tapi saya mencintainya. Saya yakin, Salma pun begitu.

Standar lain yang umumnya dimiliki oleh sebuah keluarga adalah kedekatan; baik secara fisik maupun emosional. Banyak keluarga yang hanya dekat secara fisik, namun tidak secara emosional. Banyak juga keluarga yang dekat secara emosional, namun secara fisik mereka berjauhan. Namun, yang terjadi pada kami selama hampir dua puluh tahun adalah kami tidak pernah tinggal berdekatan; satu rumah, satu atap, dan berbagi kelelahan.

Bagi kamu, para pasangan LDR, pasti sangat tahu rasanya asam garam pahit manisnya hubungan-jarak-jauh. Setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, mungkin masalah-masalah yang timbul akibat hubungan jarak jauh itu bisa diatasi. Saya masih ingat saya begitu merindui ayah saya setiap sore di depan rumah simbah. Berharap Bapak datang membawa boneka secara tiba-tiba, kemudian menangis ketika sampai malam Bapak tidak juga memunculkan wajahnya di rumah. Saya juga masih ingat, saya harap-harap cemas menunggu Bapak pulang ketika liburan semester dan lega sekali ketika muncul mobil dari arah utara menuju pekarangan rumah simbah; Bapak datang. Saya tidak peduli dengan oleh-oleh. Bagi saya ketika itu, yang penting Bapak di rumah.

Namun begitu menginjak remaja, hubungan jarak jauh pun tidak semulus masa sebelumnya. Banyak konflik kecil terjadi. Bapak pernah kesal karena ketika Bapak sering menelfon saya, saya beberapa kali tidak sempat mengangkat. Tentu saya tidak sengaja. Banyak kegiatan yang menyita waktu serta tidak setiap saat bisa memegang hp menjadi alasannya. Tapi Bapak tetap kesal. Beliau mengungkit-ungkit bila sedang liburan saya intens terus dengan hp, namun ketika Bapak nelfon saya mangkir. Ya; memang kecemburuan Bapak dan sifat posesif kepada anak perempuannya adalah hal yang lumrah. Namun, bagi saya ketika itu, lebih baik saya tidak ditelfon ketika Bapak sedang kesal.

Saya juga pernah beberapa kali marah karena Bapak batal mengambil raport atau datang terlambat di acara kelulusan–padahal saya berkesempatan untuk memberikan pidato–membuat saya ngambek dan kesal terhadap Bapak. Tentu bukan karena alasan sepele Bapak terlambat. Ada beberapa kepentingan yang harus beliau selesaikan terlebih dulu. Tapi saya tidak mau tahu, saya marah dan menganggap Bapak tidak pengertian di hari penting saya. Ya; saya dan Bapak memang sering konflik dan berbeda pedapat dalam perjalanan hubungan kami karena kami tidak saling tahu keadaan yang sebenarnya jauh di sana. Pun saya yakin hubungan Bapak dengan Salma.

Kalau hubungan saya dengan Bapak begitu; apalagi hubungan saya dengan Salma. Berkali-kali saya malas berbincang dengannya karena sikapnya yang acuh tak acuh. Berkali-kali juga ia sebal dengan saya karena menganggap saya superior yang suka seenaknya. Akhirnya karena kami sama-sama malas menjalin komunikasi, saling menanyakan kabar, kebanyakan gengsi. Akibatnya, hubungan kami hambar. Konsep my sister is my bestfriend ever sepertinya terlalu muluk untuk saya dan Salma. Bisa saling tidak kaku untuk menanyakan satu dua hal saja sudah cukup bagus untuk kami. Apalagi dengan jarak yang terbentang dalam hampir tujuh tahun terakhir.

Percayalah, hubungan jarak jauh dalam waktu yang cukup lama itu tidak mudah untuk dijalani. Rindu sudah hambar untuk diungkapkan secara eksplisit. Saling mengungkapkan rindu, ah, sepertinya sudah bukan lagi masanya bagi kami. Pun sama halnya dengan banyak menelfon dan menanyakan satu dua hal saja juga sudah bukan lagi masanya. Lalu bagaimana keluarga ini akan bertahan dalam pahitnya hubungan-jarak-jauh ini?

Saya tentu pernah merasa bahwa keluarga saya adalah keluarga yang gagal. Kami berpencar, tidak saling mengenal satu dengan yang lain, serta tidak bertemu dan bicara untuk waktu yang lama. Tidak seperti keluarga normal yang lain. Saya katakan normal karena saya sadar, tidak sepanjang waktu keluarga harmonis. Pasti ada waktu-waktu tersulit yang harus dilalui oleh setiap keluarga. Namun, masa-masa sulit itu tidak sepanjang kami–dan mungkin keluarga lain yang bernasib sama dengan kami. Yang paling pahit dari masa-masa sulit yang berlangsung lama sekali adalah–mungkin saja–kami bertiga lebih dekat kepada teman dan rekan kerja kami.

Namun, bukankah darah lebih kental daripada air? Tentu apabila ada kesempatan kami berada dalam satu atap yang sama dalam jangka waktu yang agak lama, bisa jadi kami tidak bisa lagi terlepas dan terpencar lagi seperti ini. Benang merahnya; jauh di dalam hati kami, kami saling mencintai.

Bagi saya sudah cukup; menyisakan dua-tiga jam sekali waktu untuk sekalian menanyakan kabar dan membicarakan apa saja yang terjadi ketika kami saling tidak tahu menahu soal masing-masing. Bagi saya sudah cukup lega ketika mengetahui bahwa Bapak dan Salma baik-baik saja.

Terpisah jarak dan waktu ini tentu menyiksa. Ketika lelah dan ingin pulang, kami tidak tahu mana yang harus kami tuju. Hubungan-jarak-jauh yang sudah kami tempuh sejauh dan selama ini membuat kami tidak tahu, di mana sebenarnya rumah kami. Mungkin titiknya hanya satu; suatu saat nanti kami akan pulang pada ibu.

Oleh karena itu, sekali lagi; kedekatan secara fisik dan emosional tidak mempengaruhi cara mengasihi kami. Saya tidak dekat secara fisik dan emosional dengan Bapak dan Salma, tapi tak perlu diragukan; jauh di dalam hati, saya sangat mencintai mereka.

Kalau kata orang, “Kita tidak bisa memilih siapa keluarga kita karena mereka adalah hadiah dari Tuhan untuk kita.”

Qadarullah, dengan izin Allah Yang Maha Pengasih, semua ini terjadi. Dengan kehendak Allah Pemilik Semesta Raya, semuanya sudah ditakdirkan. Semoga Allah pun menakdirkan hubungan jarak jauh ini terjadi di dunia saja agar kelak di akhirat, saya, Ibu, Bapak, dan Salma bisa berkumpul di surga-Nya; membangun rumah yang hangat milik kami sendiri, kemudian menjadi keluarga yang tidak pernah menjalani hubungan-jarak-jauh lagi.

Semoga semesta turut mengamini kerinduan ini.

Allahuma Aamiin.

Leave a Reply

Your email address will not be published.