BENARKAH KITA SUDAH TIDAK SALING PEDULI?

Kantuk menyerang saya malam itu ketika saya berusaha membaca dan memahami materi Strukturalisme Saussure untuk UTS Perkembangan Teori Linguistik esok hari. Oleh karena itu, saya sempatkan sejenak untuk memainkan handphone saya. Buka sana, buka sini. Scroll sana, scroll sini. Hingga akhirnya, saya menemukan sebuah tulisan agak panjang di linimasa. Tulisan ini ditulis oleh pemilik akun bernama Hana B. Adiningsih. Tulisannya di linimasa ini sudah dibagikan oleh dua ribu lebih pengguna akun line, termasuk beberapa teman saya yang juga ikut menyukai dan membagikan tulisan ini.

Begini bunyi tulisannya :

Dulu saya kaget ketika beberapa teman saya cerita mereka pernah/sedang mengalami disorder tertentu. Bipolar, ADHD, anxiety disorder, depresi, skizofrenia. Karena di kehidupan sehari-hari mereka hampir ga ada bedanya dengan teman-teman lain. Kita ketawa bareng, main bareng, kerja bareng. Mereka semua terlihat menjalani hidup dengan baik-baik aja. Tau-tau ternyata ada yang pernah ingin bunuh diri, mengurung diri di kamar 3 hari, menyakiti diri sendiri, mau kabur dari rumah, ga makan berhari-hari, merasa restless dan susah konsentrasi, dll. Mereka hanya susah buat cerita aja.

Sekarang saya mengerti.

Ya memang sesulit itu hidup di kota yang sekeras ini. Orang hanya cari kita karena alasan profesional. “Jangan lupa tugas ini.” “Kumpulin ini jam 8 malem ya.” “Besok harus dateng rapat ini itu.” Bahkan sebuah “Apa kabar?” sekalipun ada tujuan formal di baliknya.

Yang bermasalah menutup diri karena tau orang-orang hanya akan menuntut dan takut dianggap lemah. Yang menuntut juga ga tau gimana caranya bantu karena sibuk dengan urusan masing-masing dan ga tau bagaimana caranya memulai. Atau lebih parah lagi, ada yg menganggap orang-orang itu lembek dan ga mau usaha. Padahal namanya sakit ya sakit aja. Kenapa ketika temen kita demam kita bisa nyuruh dia istirahat tapi ketika dia tidak bisa function well karena masalah psikis, kita malah bilang dia kerjanya ga bener tanpa mau tahu di baliknya mungkin ada masalah besar. Mungkin karena masyarakat susah untuk tau kapan masalah di dalam dirinya itu bisa dikategorikan sesuatu yang serius ya.

Pada akhirnya tidak ada gunanya menyalahkan siapa-siapa. Mungkin sudah saatnya kita lebih peduli sama teman-teman kita yang mendadak hilang, berubah, sakit-sakitan, jadi tertutup, susah dihubungi, bicaranya susah dipahami, nangis terus, dan semacamnya.

Sebuah “Apa kabar?” yang tulus mungkin hal kecil buat kita.

Tapi tidak buat mereka.

Setelah membaca tulisan itu, saya menghela nafas agak panjang.

Jujur. Ada hal yang sangat saya takutkan. Ada beberapa hal dalam tulisannya yang memang terjadi juga di sekitar saya. Jangan-jangan, konsepsi yang selama ini sedang berkembang seperti ‘semua orang punya prioritasnya masing-masing’ adalah suatu bentuk manifestasi dari masyarakat multikultural yang sedang berjalan menuju masyarakat yang lebih, ehm, mungkin, individualis. Jangan-jangan seperti itu, atau kalau tidak, itulah yang saya takutkan. Seiring berjalannya waktu dan kemajuan zaman, manusia pun mulai memiliki target-target yang harus dicapai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Hal tersebut menuntut mereka untuk bekerja keras demi mencapai tujuan mereka. Mereka pun berjalan sendiri-sendiri. Sesuai targetnya masing-masing. Sesuai prioritasnya masing-masing.

Akhirnya terjadilah kehidupan kota yang, mungkin, penuh kepentingan ini. Benar kata mbak Hana, orang terkadang hanya mencari satu sama lain karena alasan profesional atau  punya kepentingan tertentu.

“Jangan lupa tugas ini.”

“Kumpulin ini jam 8 malem ya.”

“Besok harus dateng rapat ini, jangan lupa juga kumpul itu.”

Bahkan sebuah “Apa kabar?” sekalipun ada tujuan atau kepentingan-entah-apa-itu di baliknya.

Benarkah kita sudah semenyeramkan itu?

Ya. Saya sebut itu hal yang menyeramkan. Kita semua tahu bahwa kodrat manusia adalah membutuhkan orang lain. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu, akan menjadi hal yang menakutkan apabila kebutuhan ‘bersosialisasi’ yang dulu sarat akan kehidupan harmonis bermasyarakat, sekarang sudah bergeser ke ranah yang lebih profesional, penuh tendensi dan kepentingan, saling memberi keuntungan, atau bersimbiosis mutualisme. Bila ada pihak yang tidak sejalan dan tidak memberi keuntungan, seseorang akan meninggalkannya dan berpaling ke orang atau komoditas lain yang lebih menguntungkan. Ia tidak akan peduli pada yang ia tinggalkan, bagaimana pun keadaannya, karena ia berbeda dengan tujuannya. Ia tidak akan peduli sekali pun yang ditinggalkan mengalami keterpurukan, kesusahan, atau apa pun. Yang penting ia dapat mengejar tujuannya sendiri. Yang penting ia dapat memenuhi targetnya sendiri.

Saya mulai berpikir. Mungkin benar kata dosen saya. Saat ini telah terjadi kesenjangan antara konvensi masyarakat dan inovasi.

Bagi sebagian orang, mereka ingin mempertahankan tradisi berhubungan sosial, seperti bertegur sapa, mengobrolkan hal satu dengan yang lain, membaur dengan orang lain tanpa ada tendensi atau kepentingan apapun, bergotong royong membersihkan lingkungan, membesuk orang sakit, datang kenduren, dan lain-lain. Bahkan peduli dengan teman yang mulai merasa restless atau susah dihubungi pun harusnya bukan menjadi masalah yang besar.

Mereka yang mengalami disorder tertentu kadang butuh keberadaan kita. Mereka butuh telinga kita. Mereka perlu kita untuk menguatkan mereka. Sehingga kasus bunuh diri akibat tekanan hidup yang berat di sana-sini tidak perlu terjadi.

Di sisi lain, sebagai manusia yang ingin maju dan memperbaiki kehidupannya, mereka punya target-target tersendiri yang harus mereka capai. Mereka punya tujuan hidup yang hanya dapat diwujudkan dengan orang-orang tertentu. Mereka punya beberapa tanggung jawab yang memang harus mereka tunaikan, bukan hanya kepada masyarakat, tapi juga kepada orang tua dan keluarga yang berharap besar akan keberhasilan hidupnya. Hal tersebut menyita banyak hal lain sehingga perlu ruang dan waktu ekstra untuk peduli terhadap sesamanya.

Dan yang paling tidak bisa diubah adalah, manusia hanya punya waktu 24 jam saja sehari. Tidak kurang, tidak lebih.

Jadi, kita harus berbuat apa?

Saya juga tidak dapat menjawabnya secara konkret, hm, maafkan saya. Ini juga tantangan sulit untuk saya.

Akan tetapi, saya hanya berharap, untuk alasan apapun, jangan sampai kita menjadi orang-orang yang tidak peduli dengan teman, orang tua, maupun lingkungan sekitar. Meski tangan dan kaki yang kita miliki hanya sepasang dan waktu yang kita punya hanya 24 jam sehari, semoga kita masih bisa peduli dengan sesama. Peduli tanpa tendensi. Peduli tanpa kepentingan. 

Mari peduli dengan cara kita masing-masing. 🙂