Namanya Putri

Dia datang dari pulau Bali. Bukan suku Bali asli. Orang tuanya asli Jawa namun sudah lama bekerja di Bali. Aku tidak ingat betul kapan pertama kali aku berbicara dengannya. Aku tahu namanya Putri setelah perkuliahan hari pertama dilaksanakan. Nama lengkapnya Putri Aprilia. Kulitnya coklat sawo matang. Matanya bulat dan bersahabat. Bola matanya hitam pekat. Bentuk mukanya tidak terlalu lonjong, tapi juga tidak terlalu bulat. Tingginya rata-rata. Aku tidak tahu seperti apa rambutnya karena ia mengenakan jilbab. Ketika ia melemparkan senyum, terlihat bahwa ia adalah seseorang yang sangat tulus. Kau harus melihatnya sendiri.

Ya, ia datang dari pulau Bali. Ia berhasil meraih satu kursi di perguruan tinggi yang terkenal di seluruh negri. Besar tekadnya untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Besar pula ambisinya untuk mengejar cita-cita yang sudah ia bawa dari pulau di seberang sana. Oleh karena itu, ia datang ke Yogyakarta dengan bahagia.

Beberapa lama setelah proses orientasi mahasiswa baru, Putri merasakan hal yang lazim dirasakan mahasiswa rantau lainnya. Orang-orang menyebutnya homesick. Rindu orang tua, rindu rumahnya, rindu kakaknya, rindu kamar tidurnya, rindu lingkungannya, rindu teman-temannya, dan juga rindu pada hal-hal yang ia tinggalkan di sana. Ketika diantar ke Yogyakarta oleh kedua orang tuanya, banyak pesan-pesan yang ditinggalkan oleh mereka. Bukan hanya pesan, namun juga doa dan restu. Orang tuanya meninggalkan Putri di sini dengan rasa percaya yang besar bahwa putri bungsu mereka akan hidup dengan baik. Dengan bekal restu orang tuanya itu, Putri yakin bahwa dia bisa hidup dan belajar dengan baik, walau tanpa orang tua di dekatnya. Kemudian ia bangkit. Banyak hal yang harus ia raih di sini.

Selama semester pertama berlangsung, Putri tinggal bersama sepupunya di kawasan Condong Catur. Semua berjalan baik-baik saja. Semua proses perkuliahan ia ikuti dengan baik. Putri termasuk anak yang aktif di kelas. Bukan hanya aktif di kelas saja, ia juga mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan seperti kepanitian HMJ dan ikut bergabung di Lembaga Eksekutif Mahasiswa. Semua aktivitas itu ia ikuti dengan baik. Putri juga bergaul dengan banyak teman dan mengobrol dengan banyak orang. Sekali lagi, semua berjalan baik-baik saja sesuai dengan niat awalnya untuk menuntut ilmu dan meraih cita di kota ini.

Menginjak semester kedua, Putri mengabarkan padaku bahwa ia akan pindah tempat tinggal karena suatu alasan tertentu. Begitu juga dengan Mbak Galih, sepupunya yang selama enam bulan ini tinggal bersamanya.

Oh, iya. Aku lupa sesuatu. Putri mempunyai seorang kakak laki-laki yang juga menuntut ilmu di kota ini, namun berbeda kampus. Kakak laki-lakinya tinggal di rumah neneknya yang terletak di daerah Taman Siswa. Sebenarnya, daerah itu mempunyai jarak tempuh yang cukup jauh, baik ke kampus kakaknya maupun ke kampusnya sendiri. Namun, mau tidak mau, ia harus pindah. Pendek kata, ia tinggal bersama kakaknya di rumah neneknya itu mulai dari awal semester dua.

Pepatah yang berbunyi, “Manusia hanya bisa merencakan, tapi tetap Tuhan yang menentukan” itu berlaku untuk Putri. Dari awal, ia mempunyai niat menuntut ilmu dan mengembangkan diri di kampus. Namun, Tuhan memberinya tanggung jawab dan amanah lain yang mungkin tidak diberikan Tuhan kepada sembarang orang.

Putri tidak terjebak. Tuhan sudah menggariskannya. Dari awal semester dua hingga hari ini, Putri tinggal bersama kakak laki-laki dan neneknya. Neneknya sudah tua. Usianya hampir tujuh puluh lima tahun. Sebelum Putri dan kakaknya datang ke kota ini, neneknya tinggal sendiri. Namun, karena usianya semakin tua, kesehatannya mulai tidak stabil. Mungkin karena itu, Tuhan mengirimkan Putri dan kakaknya untuk menjadi malaikat yang senantiasa merawat dan menemani nenek di hari tuanya.

Tentu saja dengan keadaan yang demikian, Putri tidak lagi dapat berkegiatan di kampus terlalu sering. Ia sering datang hampir terlambat setiap kuliah. Bukan karena ia malas-malasan. Ia selalu bangun pagi untuk memasak air, menanak nasi, mencuci piring, membersihkan rumah, mengantar neneknya mandi, dan menyiapkan lauk pauk untuk neneknya. Setelah semuanya siap, ia baru akan mengurus dirinya sendiri dan bersiap untuk kuliah. Hal itu berlangsung setiap hari. Di saat teman-teman lain sibuk ke perpustakaan, rapat, diskusi, nongkrong, main, dan sebagainya, Putri harus cepat-cepat pulang ketika kelas selesai. Ia harus memastikan neneknya makan dengan baik dan tidak terjadi sesuatu apapun.

Jarang sekali mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua memiliki kehidupan yang demikian. Sebagian perantau berjuang untuk dirinya sendiri agar dapat hidup dengan baik, meraih IPK bagus, aktif di organisasi kampus, dan mungkin juga kerja paruh waktu. Namun, Putri tidak. Ia merantau, menuntut ilmu, juga merawat neneknya setiap hari. Ia tak pernah mengeluhkan waktunya yang seharusnya bisa untuk ke perpustakaan, pergi main, atau ikut kegiatan kampus seperti teman-temannya, terpakai untuk menemani neneknya di rumah. Aku yakin, walaupun ia tak lagi bisa sering berkegiatan di kampus seperti yang ia niatkan, ia akan mendapatkan lebih dari niatnya. Tuhan memang bijaksana. Belum tentu orang lain dapat seperti Putri dan kakaknya. Mereka merawat neneknya yang makin hari makin menua tanpa mengeluh.

Putri pernah bilang padaku begini, “Aku percaya setiap perbuatan yang kita lakukan akan kembali lagi pada kita, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk”. Iya. Benar. Selama kita berbuat baik, maka kebaikan-kebaikan akan selalu mengelilingi kita.

Oh iya. Aku lupa. Di awal sudah kukatakan, ketika Putri melemparkan senyum, akan terlihat bahwa ia adalah orang yang sangat tulus. Itu benar. Seratus persen benar. Kau tidak percaya? Silakan berkenalan dengannya.

20151216_113023Ini aku dan Putri. Kami teman baik.

Aku percaya setiap perbuatan yang kita lakukan akan kembali lagi pada kita, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk (Putri, 2015)

Kehidupan Kampus Ilmu Budaya: Antara Buku, Cinta, dan Pesta

APA ITU KEHIDUPAN KAMPUS?

Kehidupan kampus sudah di depan mata. Berbagai bayangan tentang asam manis kehidupan di dalamnya pasti terbesit di benak calon-calon pemimpin bangsa yang akan melewati fase sebagai mahasiswa. Usut punya usut, fase paling berat yang akan dilewati sebelum memasuki dunia yang sesungguhnya. Namun, apabila kita dapat menikmati proses yang ada, semua akan terasa luar biasa bermakna.

Dunia perkuliahan bukan lagi seperti dunia sekolah yang serba tertata. Jadwal pelajaran tertata dengan baik dan seragam. Jadwal istirahat juga tersedia dan dilaksanakan serempak antara satu siswa dengan siswa yang lain. Kegiatan ekstrakulikuler juga selalu terjadwal di luar jam sekolah. Semua anak dapat mengikuti kegiatan ekstrakulikuler sesuai bakatnya tanpa mengganggu jam pelajaran sekolah. Namun, tidak demikian dengan kehidupan kampus. Setiap mahasiswa memiliki jadwalnya masing-masing. Mata kuliah yang diambil mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lain belum tentu sama. Kelas yang diambil oleh mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lain bisa jadi berbeda ruangan atau bahkan berbeda gedung. Jeda kuliah belum tentu serempak. Kegiatan di luarjam kuliah pun belum tentu sama. Ini yang akan menjadi tantangan mahasiswa memenajemen waktu.

Lingkungan kampus di setiap universitas atau fakultas ini berbeda-beda warnanya. Ada fakultas yang mempunyai atmosfer semangat belajar yang tinggi. Kegiatan mahasiswa di dalamnya adalah diskusi, kerja kelompok, ataupun praktikum. Ada juga fakultas yang memiliki atmosfer semangat mengabdi yang tinggi. Kegiatan mahasiswa di dalamnya adalah belajar di lapangan dan terjun ke lingkungan untuk mempelajari realitas yang terjadi di masyarakat. Mereka terjun untuk meneliti permasalahan yang terjadi di masyarakat dan mencari solusinya. Ada juga fakultas yang memiliki atmosfer bela negara yang tinggi. Kegiatan mahasiswa di dalamnya adalah belajar, membaca buku, diskusi, konsolidasi, kajian, dan kadang juga melakukan aksi. Ada juga fakultas yang memiliki atmosfer seni yang tinggi. Kegiatan mahasiswa di dalamnya adalah belajar, latihan seni pertunjukan, seni musik, seni tari, seni lukis, dan tak jarang mereka mempersembahkan pagelaran untuk dinikmati oleh masyarakat. Semua kehidupan kampus yang tergambar di atas merupakan warna-warni dan keberagaman dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa. Tidak ada kegiatan yang lebih baik maupun kegiatan yang lebih buruk. Semua kegiatan tersebut dilakukan sesuai disipilin ilmu masing-masing fakultas. Bila dikembangkan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh setiap mahasiswa dapat menjadi keberagaman keahlian yang nantinya dapat saling melengkapi.

Oke. Itu sekilas tentang kehidupan kampus secara umum.

SELAYANG PANDANG FIB UGM

Secara khusus, penulis ingin mengulas sedikit tentang kehidupan kampus di Fakultas Ilmu Budaya. Fakultas yang memiliki berjuta romantisme dalamnya. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) terletak di Jalan Sosio Humaniora, sebelah timur Grha Sabha Pramana. Rata-rata bangunan adalah bangunan tua yang masih berdiri dengan kokoh. Bangunan itu menjadi saksi bisu jerih payah beribu sarjana yang telah diluluskan oleh fakultas ini.

Fakultas Ilmu Budaya berdiri sejak 3 Maret 1946 dengan nama Faculteit Sastra, Filsafat, dan Keboedajaan. Fakultas ini pernah berganti nama sampai enam kali hingga kini bernama Fakultas Ilmu Budaya.

Di dalam perkembangan terakhir, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan pendidikan Program Sarjana jenjang S1, dan Program Pascasarjana jenjang S2 dan S3. Jenjang S1 terdiri atas 11 Program Studi yaitu Antropologi Budaya, Arkeologi, Ilmu Sejarah, Sastra Arab, Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sastra Jepang, Bahasa Korea, Sastra Nusantara, Sastra Prancis, dan Pariwisata. Di samping itu, Fakultas Ilmu Budaya juga menyelenggarakan pengajaran bahasa dan kebudayaan Indonesia untuk orang asing yang dikelola oleh Unit Pelayanan Pengajaran Bahasa dan Budaya Indonesia atau Indonesian Culture and Language Learning Services (INCULS).

REALITAS BUKU, CINTA, DAN PESTA

Kehidupan mahasiswa FIB selo? Wah! Benar banget!

Akan tetapi, jangan salah kaprah memaknai arti selo di dalam konteks ini. Selo bukan berarti perpustakaan FIB sepi pengunjung. Selo bukan berarti presensi kehadiran mahasiswa dibawah 75%. Selo bukan berarti nongkrong di kampus tanpa tujuan pasti. Mahasiswa FIB selo karena mempunyai tiga konsep kehidupan kampus yang selama ini dinikmati prosesnya oleh mahasiswa FIB.

Pertama adalah buku. Buku identik dengan kegiatan membaca.

Hakikatnya, tugas utama seorang mahasiswa adalah belajar. Oleh karena itu, buku menjadi makanan utama mahasiswa, apalagi di Fakultas Ilmu Budaya ini. Rata-rata jurusan di Fakultas ini adalah sastra dan bahasa. Bagaimana mungkin, mahasiswa sastra dan bahasa menghadiri perkuliahan tanpa membaca buku? Novel, cerpen, dongeng, komik, dan jenis buku lain merupakan makanan sehari-hari anak sastra selain buku atau modul wajib perkuliahan. Buku begitu dekat dengan kehidupan mahasiswa sastra. Hampir tidak mungkin mahasiswa sastra tidak membaca buku. Selain dapat memperkuat pemahaman ketika mengikuti perkuliahan, membaca buku, novel, cerpen, dongeng, ataupun komik juga dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan. Kita akan ketinggalan obrolan seru dengan teman jika tidak memperkaya diri dengan membaca buku. Karena itu, buku adalah kunci bagi mahasiswa ilmu budaya. Mahasiswa ilmu budaya juga pantang menulis tanpa menggunakan buku sebagai sumber acuan. Selain buku, mahasiswa ilmu budaya juga terbiasa membaca jurnal sebagai referensi sampingan selain buku. Informasi dari internet adalah pilihan terakhir. Suatu kebanggaan tersendiri apabila mahasiswa dapat menghasilkan tulisan tanpa internet sebagai sumber acuan.

Selain itu, dari membaca buku, mahasisawa FIB dapat melakukan diskusi di beberapa ruang terbuka publik yang disediakan oleh fakultas. Mahasiswa FIB biasa menyebutnya dengan Bangtem (bangku item), bangcok (bangku coklat), bangjo (bangku ijo), selasar, MEC, dan masih banyak lagi ruang terbuka publik lain yang biasa digunakan mahasiswa FIB untuk ngobrol-ngobrol seru, kerja kelompok, mengerjakan tugas, dan lain sebagainya.

Kedua adalah cinta. Bukan tidak mungkin kau akan menemukan jodohmu di sini.

Manis pahitnya dunia kampus belum lengkap tanpa bahasan tentang cinta. Berbagai drama-dramaan kampus sering terjadi di sini. Akan banyak tempat menjadi saksi romantisme kisah-kisah cinta mahasiswa FIB. Menyenangkan bukan?

Namun, rupanya cinta itu luas. Bukan hanya kisah cinta antar mahasiswa dan mahasiswinya. Kisah cinta juga terjadi antara mahasiswa dan fakultasnya. Banyak cinta yang bertebaran. Ada mahasiswa yang cinta terhadap jurusannya sehingga ia mencurahkan hatinya pada kegiatan-kegiatan yang dapat menambah gaung nama jurusannya di lingkup fakultas maupun luar fakultas. Ada rasa cinta dari aktivis organisasi terhadap teman-temannya yang membutuhkan informasi dan pelayanan. Sebagai contohnya, LEM FIB menyediakan kontak nomor Advokasi 24 jam agar dapat dihubungi sewaktu-waktu. Mahasiswa dapat menyampaikan keluh kesahnya mengenai fasilitas maupun kebijakan-kebijakan fakultas. Beberapa mahasiswa tertolong nasibnya dari akibat tidak bisa membayar UKT berkat bantuan dari para aktivis organisasi. Selain itu, ada cinta mahasiswa FIB terhadap masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan bentuk menyelenggarakan program desa binaan.

Ada juga mahasiswa yang cinta terhadap pedagang-pedagang kantin. Mereka mencurahkan hatinya untuk di kantin. Bukan sekedar tempat untuk membeli makan ketika lapar, kantin FIB atau yang biasa disebut Bonbin juga merupakan ruang terbuka publik yang dicintai mahasiswa. Di sana mereka dapat berkumpul, berdiskusi, berkeluh kesah, dan bertukar pikiran. Saking cintanya terhadap kantin dan pedangangnya, terdapat rasa saling percaya antara pedagang dan mahasiswa ketika akhir bulan telah tiba. Pedagang dan mahasiswa percaya hutang adalah cara terbaik untuk menyelematkan perut dan dagangan. Hutang menyelamatkan perut mahasiswa yang kelaparan. Hutang juga menyelamatkan dagangan agar tidak basi dan terbuang dengan mubadzir. Karena ada rasa saling percaya yang demikian, apa namanya kalau bukan cinta?

Ketiga adalah pesta. Inilah ajang unjuk gigi kebolehan dirimu atau kebolehan jurusanmu!

Bukan hanya belajar pada buku. Mahasiswa FIB juga belajar dari pesta. Lho? Kok bisa? Iya. FIB merupakan fakultas yang memiliki sebelas jurusan di dalamnya. Sebelas jurusan itu masing-masing mempunyai himpunan mahasiswa jurusan. Biasanya, pada akhir tahun, HMJ-HMJ ini akan unjuk gigi program andalan dari jurusan mereka. Program andalan ini tentunya menunjukkan eksistensi dan ciri khas jurusan masing-masing. Ini yang sering disebut sebagai pestanya mahasiswa FIB. Sebagai contoh, ada Program History Week dari Ilmu Sejarah, Program English Day dari Sastra Inggris, Program Bulan Bahasa dari Sastra Indonesia, dan masih banyak program dari jurusan lain. Program-program tersebut dipersembahkan untuk masyarakat agar dapat diambil manfaatnya.

Dalam pelaksanaannya, program andalan jurusan masing-masing tentu memiliki sekumpulan orang bernama panitia yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu menyukseskan program andalan masing-masing jurusan tersebut. Untuk dapat mewujudkan program andalan yang sukses, panitia harus berproses dari awal hingga akhir. Dalam proses tersebut, terdapat interaksi di dalamnya. Bukan hanya interaksi, dalam kepanitiaan kita akan dapat menemukan apa itu yang namanya birokrasi, apa itu yang namanya diplomasi, apa itu yang namanya solusi, dan apa yang namanya profesionalisme. Semuanya didapatkan di sana jika kita mau terlibat dalam persiapan sebuah pesta. Bukan tidak mungkin semua hal yang pernah didapat selama kepanitiaan akan berguna ketika hidup dalam dunia kerja atau di dunia masyarakat yang sesungguhnya.

Pesta lain yang dapat ditemukan di FIB adalah penyaluran minat dan bakat serta organisasi. Ada belasan Badan Seni Otonom (BSO) yang dapat menampung minat dan bakat mahasiswa FIB. Begitu meriahnya kehidupan mahasiswa.

Nah. Teman-teman, persiapan sebuah pesta terkadang lebih meriah daripada pestanya. Itu artinya, menikmati sebuah proses terkadang jauh lebih menyenangkan daripada menikmati hasil yang tidak kita tahu bagaimana prosesnya. Selamat menjadi mahasiswa! Selamat berproses teman-teman!

Salam.

Opini dari mahasiswa yang sedang menikmati proses.

Catatan: Tulisan ini akan dimuat di blog cendekiamuda.com

KULI KONTRAK: SIMBOL KETIDAKADILAN BURUH PERKEBUNAN KOLONIAL

Cerpen “Kuli Kontrak” karya Mochtar Lubis ini diakuinya sebagai karya yang paling dia sukai. Cerpen ini dikutip dari majalah Siasat Baru, No.650, Th. XIII, edisi tanggal 25 November 1959 kemudian dibukukan oleh Pusat Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1979.

RINGKASAN CERITA

Pada sebuah malam, di sebuah desa terjadi keributan. Ayah yang bekerja seabgai demang di Kerinci langsung keluar mencari sumber keributan. Senjata khas perkelahian ini adalah batu sebesar telur ayam yang diikat dengan tali kemudian diayunkan. Batu itu dapat mengenai kepala orang. Ayah seminggu yang lalu pernah menghentikan perkelahian semacam ini di Sungai Deras. Kepala Ayah pun kena batu. Beruntungnya, ayah mengenakan topi helm. Ayah hanya merasa pening untuk beberapa lama karena batu itu.

Perkelahian itu kemudian dapat dihentikan oleh polisi dengan menembakkan senapan berkali-kali ke udara. Kepala kampong kedua desa yang terlibat perkelahian kemudian dipertemukan dan berdamai. Namun, kemudian ada keributan yang terjadi lagi. Ayah kemudian keluar dengan pakaian tugasnya. Tak lupa dengan pistol di pinggangnya dan topi helmnya.

Ayah ternyata menangkap lima kuli kontrak yang melarikan diri dari onderneming Kayu Aro, setelah menikam opzichter Belanda. Ketiga kuli kontrak itu kemudian ditangkap dan dibawa ke penjara. Tidak lima seperti yang diceritakan sebelumnya, melainkan hanya tiga orang kuli kontrak. Menurut cerita ayah kepada ibu, penangkapan ketiga kuli kontrak itu disebabkan karena opzichter itu selalu mengganggu istri-istri mereka. Rupanya kuli kontrak itu sudah mata gelap dan tak dapat lagi menahan hati melihat opzichter mengganggu istri mereka. Kemudian diseranglah opzichter itu oleh mereka. Belanda tidak pernah menangkap orang-orangnya sendiri karena merekalah yang berkuasa, tutur ibu.

Ayah kemudian memperingatkan anaknya untuk tidak bermain-main ke pekarangan belakang rumah mereka karena dekat dengan penjara. Hukuman untuk ketiga kuli kontrak itu akan segera dilaksanakan.

Perlakuan tidak adil kemudian didapatkan oleh ketiga kuli kontrak itu. Ketiga kuli kontrak mendapat hukuman pecut. Ayah sebagai demang pun hadir dalam pelaksanaan hukuman ketiga kuli kontrak itu. Sebagai pegawai pemerintahan, mereka harus turut ikut serta dalam semua keputusan-keputusan pemerintah walaupun keputusan itu adalah tindakan yang salah dan tidak adil. Ayah berpesan pada anaknya untuk jangan menjadi pegawai negri.

SIAPA MOCHTAR LUBIS?

Mochtar Lubis lahir di Padang. Ia berasal dari keluarga pamong praja. Satu dari sekian banyak pengalamannya semasa kecil adalah seperti yang tertulis dalam cerpennya ini, Kuli Kontrak. Selain itu, Mochtar Lubis adalah seorang wartawan dan juga seorang pelukis, pembuat keramik, juga menjadi pembicara di berbagai seminar, baik di Indonesia maupun di negara lain. Mochtar Lubis juga merupakan pimpinan Koran Indonesia Raya (1951). Koran tersebut menaruh kontroversi pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru sehingga Mochtar Lubis terpaksa ditahan di penjara untuk beberapa waktu.

Sejak 1967, Mochtar Lubis terpilih sebagai Ketua Redaksi Majalah Horison dan juga anggota seumur hidup Akademi Jakarta bersama Sembilan budayawan senior yang lain, seperti Takdir Alisyahbana, Soedjatmoko, Affandi, dan H.B. Jassin.

Romannya Jalan Tak Ada Ujung mendapat penghargaan dari Badan Musjawarah Kebudajaan Nasional (BMKN) telah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing, bahkan Senja di Jakarta lebih dulu terbit dalam terjemahan beberapa bahasa asing sebelum diterbitkan di Indonesia dalam bahasa aslinya. Harimau! Harimau! yang diterbitkan Pustaka Jaya pada tahun 1975 juga mendapatkan penghargaan dari Yayasan Buku Utama.

Orang tua Mochtar Lubis adalah seorang pamong praja. Hidupnya pada masa itu tidak jauh dari kaum buruh yang bekerja di perkebunan. Karena kesehariannya tak jauh dari kaum kuli kontrak, kehidupan mereka pun tidak luput dari pengamatan Mochtar Lubis sebagai seorang wartawan muda yang suka menulis pada saat itu.

PERKEBUNAN DELI, KULI KONTRAK, DAN PEMERINTAH KOLONIAL DALAM CERPEN “KULI KONTRAK”

Mochtar Lubis hidup tidak jauh dari kehidupan para kaum buruh kuli kontrak. Di Sumatera, tepatnya di Perkebunan Deli, terdapat kehidupan kuli kontrak yang bisa digambarkan kehidupannya lewat tulisan. Kuli kontrak umumnya bekerja untuk perkebunan tembakau pemerintah kolonial. Pada masa itu, sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20, perkebunan yang terkenal adalah perkebunan Deli. Perkebunan itu terletak di tepi sungai Deli, Sumatera Utara.

Baru semingguan yang lalu ayah pergi ke Sungai Deras menghentikan perang semacam ini dan dia  kena peluru batu kesasar yang merenggutkan topi helmnya dari kepalanya. Untunglah tidak tepat, kenanya. Hanya pening juga kepala ayah beberapa lama dibuatnya. (Lubis, 1959:107)

Kutipan cerpen di atas menggambarkan cerminan masyarakat yang hidup di tepi Sungai Deli saat itu. Kuli buruh yang berasal dari Melayu dan Karo memang cenderung agak malas dan suka melawan pemerintah koloni.

Karena terikat kontrak, para kuli juga harus mematuhi peraturan-peraturan yang sudah tertera dalam perjanjian kontrak yang telah mereka sepakati secara tertulis, termasuk tentang hukuman yang harus diterima apabila ia melanggar. Hukuman bisa berupa denda, penjara, atau hukuman sesuai keinginan majikannya. Artinya, berat ringannya hukuman ditentukan pada kemauan majikan. Penderitaan para kuli pun semakin berat ketika mendapat hukuman berupa hukum cambuk untuk buruh laki-laki yang dianggap melanggar aturan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut.

  1. Jatuhnya hukuman secara tidak adil pada kaum kuli kontrak.

Segera juga ibu kami serbu, hingga akhirnya untuk mendiamkan kami, ibu pun berkata bahwa esok hari ketiga kuli kontrak itu akan diberi hukuman. Sebelum perkaranya dibawa ke depan hakim maka mereka akan dilecuti, karena telah menyerang opzichter Belanda. (Lubis, 1959:109)

  1. Suasana ketika pelaksanaan hukuman para kuli kontrak.

Ketika kuli kontrak itu dibariskan dekat bangku-bangku kayu yang telah tersedia, mereka disuruh jongkok. Kepala rumah penjara kemudian membacakan sehelai surat. Dan aku lihat kontrolir mengangguk-angguk. Ayah berdiri tegang bergerak-gerak. Kemudian ketiga kuli kontrak itu dibuka ikatan tangan mereka di belakang, ditidurkan telungkup di atas perut mereka di bangku, dan kaki dan tangan mereka diikatkan ke bangku. (Lubis, 1959: 110)

  1. Kekejaman koloni ketika memberikan hukuman kepada para kuli.

Dan kembali cemeti berdesing membelah udara. Dan menerkam melingkari punggung yang telah hancur memerah darah. Hanya kini mereka tidak lagi menjerit. Ketiganya telah pingsan. (Lubis, 1959: 111)

Cerpen “Kuli Kontrak” ini merupakan simbol ketidakadilan yang diterima kaum kuli kontrak pada waktu itu. Cerpen ini cukup memberikan representasi keadaan pada zaman kuli kontrak bekerja untuk bangsa koloni di Perkebunan Deli.

Ketidakadilan yang diterima para kuli kontrak pada masa kolonial tergambar jelas di cerpen ini. Mochtar Lubis mencerminkan masyarakat kuli kontrak dan pemerintah koloni yang bekerja di perkebunan Deli dengan cukup jelas dalam cerpen ini. Apa yang tertuang dalam cerpen ini mencerminkan keadaan yang dirasakan dan dialami Mochtar Lubis yang hidup tidak jauh dari kehidupan para kuli kontrak.

FUNGSI SOSIAL SASTRA CERPEN “KULI KONTRAK” KARYA MOCHTAR LUBIS

Ada tiga aspek penting untuk menganalisis cerpen “Kuli Kontrak” berdasarkan fungsi sosial sastra. Pertama, anggapan bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Aspek pertama analisis ini tidak sesuai dengan karya sastra tersebut. Karya sastra tersebut tidak memuat tulisan persuasif untuk menyatakan sebuah perombakan atau pembaharuan. Ada sebuah kutipan dalam cerpen ini yang berpotensi menjadi sebuah perombakan. Kutipan ini adalah sebagai berikut.

Jika kau besar, jangan sekali-kali kau jadi pegawai negeri. Jadi pamong praja! Mengerti?” (Lubis, 1959:111)

Kau masih terlalu kecil untuk mengerti, kata ayahku. Sebab sebagai pegawai negeri orang harus banyak menjalankan pekerjaan yang sama sekali tak disetujuinya. Bahkan yang bertentangan dengan jiwanya. Untuk kepentingan orang yang berkuasa, maka sering pula yang haram menjadi halal, dan sebaliknya.” (Lubis, 1959:111—112)

Akan tetapi, hanya dengan itu saja karya sastra ini tidak kuat untuk untuk disebut sebagai sebuah perombakan dan pembaharuan. Tidak ada resistensi yang jelas dan kuat dari kuli kontrak dan tokoh ayah sebagai demang. Mereka mengikuti dan patuh terhadap aturan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa koloni. Jika memang karya sastra ini dianggap sebagai pembaharu, tentu karya sastra ini akan memunculkan tokoh-tokoh yang melakukan resistensi terhadap koloni.

Aspek kedua adalah bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Cerpen “Kuli Kontrak” ini jauh dari prinsip seni untuk seni. Ada ideologi yang dibawa oleh pengarang ke dalam karya sastra ini. Praktek untuk memperdagangkan karya sastra ini juga dirasa tidak sesuai karena karya sastra ini hanya dimuat di majalah Siasat Baru yang merupakan majalah sastra dan budaya. Kaum kapitalis tentu tidak melihat ini sebagai sebuah karya sastra yang bisa diperdagangkan. Selain itu, di dalam cerpen ini tidak dimuat kata-kata yang menyenangkan pembacanya. Cerpen ini tidak membuat pembacanya terhanyut membayangkan hal-hal indah yang dapat menyenangkan dirinya. Kecilnya kemungkinan tersebut membuat karya sastra ini tidak cocok dilihat sebagai penghibur belaka.

Aspek ketiga adalah karya sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Kriteria menghibur ini agak rancu. Karya sastra dapat dikatakan menghibur apabila ia dapat membuat pembaca membayangkan kesenangan dan kebahagiaan yang ada di dalam cerpen. Akan tetapi, di sisi lain, karya sastra juga dapat dikatakan menghibur apabila ia dapat membuat orang terhanyut ketika membaca cerita tersebut. Selain itu, pesan dari cerita itu diterima dengan baik oleh pembaca. Dalam hal ini, cerpen “Kuli Kontrak” dapat dikatakan sebagai karya sastra yang menghibur.

Cerpen ini menyuguhkan kejadian-kejadian yang menggemparkan seperti perkelahian dan tawuran antar desa sebelum akhirnya tiba pada masa kuli kontrak itu ditangkap dan dihukum secara kejam. Pembaca dapat hanyut dalam jalan cerita yang disuguhkan oleh pengarang.

Selain itu, ada ideologi pengarang yang diselipkan pada cerpen ini. Hal itu tergambar pada kutipan berikut.

Jika kau besar, jangan sekali-kali kau jadi pegawai negeri. Jadi pamong praja! Mengerti?” (Lubis, 1959:111)

Kau masih terlalu kecil untuk mengerti, kata ayahku. Sebab sebagai pegawai negeri orang harus banyak menjalankan pekerjaan yang sama sekali tak disetujuinya. Bahkan yang bertentangan dengan jiwanya. Untuk kepentingan orang yang berkuasa, maka sering pula yang haram menjadi halal, dan sebaliknya.” (Lubis, 1959:111—112)

Ideologi pengarang tersebut mengajarkan sesuatu kepada pembacanya. Pembaca diajarkan untuk memilih antara dua pilihan, menjadi pejabat pemerintahan namun terjebak dalam kekejaman dan kesewenang-wenangan pemerintah, atau menjadi orang biasa yang dapat bebas untuk melawan pihak koloni. Mochtar Lubis memberi penegasan pada akhir ceritanya. Pilihan itu dapat diambil sendiri oleh pembaca, namun pelajarannya dapat sampai dengan baik kepada mereka.

Dengan demikian, secara fungsi sosial sastra, cerpen “Kuli Kontrak” ini dapat menjadi sebuah pengajaran yang menghibur pembacanya.

KULI KONTRAK: REPRESENTASI KETIDAKADILAN KAUM BURUH DAN KEKEJAMAN PEMERINTAH ZAMAN KOLONIAL

Cerpen “Kuli Kontrak” karya Mochtar Lubis dikutip dari majalah Siasat Baru, No.650, Th. XIII, edisi tanggal 25 November 1959. Cerpen ini dikritik dengan menggunakan pendekatan ekspresif sosiologi sastra Ian Watt.

Dari konteks sosial pengarang, Mochtar Lubis merupakan wartawan muda yang memimpin redaksi Indonesia Raya yang waktu itu sempat ditangkap oleh pemerintah. Ia merupakan anak dari keluarga pamong praja. Semasa kecilnya adalah seperti yang tertulis dalam cerpen “Kuli Kontrak” ini karena hidupnya tidak jauh dari kehidupan para kuli kontrak pada zaman Belanda.

Cerpen “Kuli Kontrak” ini juga merupakan cerminan dari kaum kuli kontrak yang bekerja di Perkebunan Deli, pulau Sumatera. Selain itu, cerpen ini juga merupakan cerminan tentang besarnya kekuasaan kolonial Belanda sehingga dapat bertindak sewenang-wenang terhadap kaum buruhnya. Sementara itu, secara fungsi sosial sastra, karya sastra ini termasuk karya sastra yang dapat menjadi sebuah pengajaran yang menghibur pembacanya. Dengan demikian, cerpen “Kuli Kontrak” ini selesai dikritik dengan hasil yang positif.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Jassin, H.B. 1959. Tifa Penyair dan Daerahnya. Cet III. Jakarta: Gunung Agung.

Anonim. 1979. Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembanan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan oleh Melani Budianta. dari Theory of Literature (1977). Jakarta: Gramedia.

SUMBER LAMAN

http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/kisah-tak-terperi-kuli-hindia-belanda diakses pada Senin, 21 Desember 2015 pukul 18.37

Kaum Buruh Perkebunan Koloni

Kaum Buruh Perkebunan Koloni 1.1

Kaum Buruh Perkebunan Koloni

Kaum Buruh Perkebunan Koloni 1.2

Kuli Kontrak (Mochtar Lubis: 1959)

Kuli Kontrak (Mochtar Lubis: 1959)