Sebuah Catatan Kecil: Tetap Jadi Teman Baik

img_20161209_144209

Kalau ada hal di dunia ini yang bisa aku favoritkan selain Indomie dan Harry Potter, tentu aku menjatuhkan pilihan pada pertemanan kita, Ti.

Ada banyak hal yang sudah kita lakukan bersama ya, ternyata.

Banyak banget gagasan dan sambatan yang kita bagi bersama sambil maem di burjoan, warung geprek, tukang bakwan kawi, bahkan sambil minum susu jahe dan susu coklat di ringroad utara. Kadang kita mengomentari isu-isu yang sedang menjadi hits di jejaring sosial. Dengan kesoktahuan kita, kadang kita mengomentari suatu isu dnegan pendapat kita masing-masing. Tidak jarang kita berbeda pendapat. Bertukar pikiran denganmu selalu menyenangkan. Bahkan jika aku keukeuh dengan pendapatku, kamu tetap mengutarakan apa yang menjadi buah pikiranmu tanpa mencela suaraku. Berdebat denganmu tidak lantas membuatku ingin menang. Aku justru menggali banyak wawasan dari pendapat-pendapatmu.

Banyak banget juga cerita-cerita yang sudah saling kita bagi ketika naik motor bareng, jalan bareng, ngurus sesuatu bareng, lagi gabut di kosku, atau bahkan di Kardjo; rumah baru yang kita miliki bareng temen temen lainnya setahun ini. Yang kamu ceritakan beragam. Sudah banyak pula ceritaku yang aku bagikan kepadamu. Tentang sepak terjang keluargaku, keadaanku yang begini begitu, bahkan semua skandal-skandalku dengan pria pria mengesalkan itu. Haha. Kamu kadang menilai sepihak beberapa laki-laki yang aku ceritakan. Menurutmu si itu begini. Yang itu begitu. Bahkan kamu pernah bilang gini untuk salah satu teman laki-laki yang aku pernah ceritakan, “Heleh. Kamu tu ngga cocok sama si ini. Tapi kalau cuma buat main main mah, oke aja.”

We could talk nonstop. Talking about our days, talking about things that mattered, and thing that didn’t matter. Telling lame jokes without feeling stupid about it to our lives.

Juga banyak banget kegiatan yang udah kita lakukan bersama. Mulai dari organisasi, kegiatan amal, kepanitiaan event, orientasi, hingga paguyuban, dan lalala yeyeye lainnya yang entah apa aja. Rapat-rapat-rapat-rapat mulu isinya hidup ini. Sampai suatu hari jenuh datang. “Bisa nggak sih, kita nggak ngobrolin rapat sama acara?”

Tidak terasa sudah tiga tahun sejak pertemanan kita dimulai, ya. Mulai kuhafali gerak gerik masing-masing.

Kamu banyak cerita, aku banyak anteng mendengarkan. Kamu banyak bantu aku, aku banyak ngerepotin kamu; dari versi tebengan motor sampai kisah sakit gigi. Aku banyak sambat, kamu menguatkan. Aku ragu, kamu meyakinkan. Aku dingin, kamu mencairkan.

Kita berbeda sifat, tentu saja. Kamu versi halus, aku versi keras. Kamu suka terburu dan tergesa, tapi aku lebih cekatan dan tertata. Kamu kalem dan tenang, aku cenderung emosional.

Namun, aku menyukai pertemanan kita bukan karena kita selalu sama dalam segala hal. Aku menyukai pertemanan kita justru karena tidak terhitungnya perbedaan yang kita punya, tapi kita tetap bisa berjalan beriringan.

Jika orang-orang lihat kita selalu akur-akur saja, mereka salah. Aku sering mangkel sama kamu dalam beberapa hal. Pun aku yakin kamu pasti dua kali lebih mangkel dari aku dalam beberapa hal juga. Kita sering ribut nggak penting, terus diem-dieman dengan sendirinya. Saling menghilang dari pandangan. Bicara seperlunya. Nyapa seperlunya. Nggak ngechat. Tau-tau kamu udah ngelakuin apa gitu yang aku ngga tau. Terus aku kadang mikir, “Ih kangen ngobrol panjang sama Putri. Kapan sih terakhir ngobrol? Kok tau tau dia udah blablabla aja.”

And then…. Puff! Tiba-tiba kita bisa deket lagi secara alami, dan kita bisa kompak lagi kaya biasanya.

Pernah suatu ketika, kita ribut besar ya, Ti. Satu-satunya ribut yang sampe ke hati dan pasti keinget sampai nanti-nanti. Pokoknya kita ribut karena sesuatu-hal-yang-nggak-penting tapi efeknya gede ke kita. Seakan batu besar mengganjal di hatiku pas itu. Mungkin juga di hatimu. Malam itu sudah sangat larut, tapi kita bertekad untuk menyelesaikan masalah itu hingga tuntas. Ini yang mungkin bikin aku jatuh cinta sama pertemanan kita. Mungkin kamu juga. Kita selalu memilih ‘ayo-bicara’ untuk setiap masalah yang kita hadapi, atau pertemanan kita taruhannya.

Malam itu, di puncak-puncak konflik yang berusaha kita bereskan dengan posisi aku terlalu menyalahkan dan kamu yang membela diri, kamu berkata padaku, “Ternyata benar ya mitos orang-orang. Jika terlalu dekat sm seseorang, pasti suatu saat bakal saling jauh, kayak musuhan.”
Kalau tidak salah aku lalu menjawab, “Itu mitos lawas.”
Kamu membalas,”Kamu tau nggak, aku nggak mau mitos itu terjadi sama kita.”

Aku langsung membenamkan mukaku di bantal. Membiarkan sakit di hatiku mengurai dan pergi bersama dengan air mata yang keluar. Kalau ada temanmu yang berkata begitu, kamu masih mau melanjutkan ego dan bertengkar? Aku tidak! Bagiku, setelah pernyataanmu itu, semua masalah kita sudah selesai.

Kita lalu mengulangi perkenalan. Walau pun saat iti kita di tempat yang berbeda, kita saling memeluk satu sama lain. Tanda bahwa kita harus tetap berteman. Bukan berearti setelah itu kita tidak pernah berantem lagi. Karena sesungguhnya berteman dan berantem adalah sebuah metatesis. Oleh karena itu, keduanya berdekatan. Akan tetapi, berantem-berantem selanjutnya bagiku hanya ribut biasa dan aku tidak pernah sakit hati karenanya.

I’m thankful that we’re friend, Ti. I’m thankful to have you. Temen sekampret kamu, di mana lagi carinya. .

Makanya, ditinggal kamu camp BPJS di Bogor delapan hari dan kamu ngga pegang hp bikin aku stress. Aku kan juga pengen tahu kamu di sana push up berapa kali. Kamu kalau makan habis apa nggak. Tidur berapa jam. Dapet tengkorak apa bintang.

Ceritamu candu. Aku udah pernah bilang gitu.

Aku iseng menulis ini.
Karena kata orang, tulisan adalah salah satu media yang ampuh untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, dan juga perasaan.

Tetap jadi temanku ya, Ti. Tetap jadi support systemku. Kasih tau aku kalau aku salah, ngeselin, mangkeli. Bilang. Jangan malah ditinggal. Kalau kamu yang bilangin, aku nurut wes.

Sayang kalau suatu saat nanti pertemanan yang sudah seperti ini harus tenggelam. Karena, masih banyak mimpi yang harus kita raih. Masih banyak hal yang harus kita lakukan bersama. Masih banyak negara yang harus kita kunjungi. Masih banyak buku dan film yang harus kita nikmati. Bareng-bareng. Ya kan?

Kamu sempat tanya sama aku, karena melihat fenomena sekitar. Orang yang dulunya dekat banget, sekarang jauh-jauhan. Mungkin karena beda pikiran atau karena ada masalah yang tidak bisa diselesaikan.

Kamu lalu tanya, “Kira-kira ada nggak ya, Zas, persoalan yang nggak bisa kita selesaikan?”

Aku cuma senyum. Semoga ini cukup untuk meyakinkan kamu bahwa semua pasti bisa kita selesaikan baik-baik. Ya?

Kalau kata Kahitna sih, kau tak akan terganti. Eaaaa. Jadi temenku terus ya, Ti. Jangan terganggu sama pertanyaan-pertanyaan senewen,  seperti,

Zash, Put, nanti kalau ada cowok di antara kalian berdua gimana?

Abaikan. Selera kita jelas berbeda. Hahaha.

Salam, peluk, dan cium.
Pagi buta yang dingin di Sagan: 01.43.

Surat Cinta Untukmu, Warung Indomi, Angkringan, dan Gerobak Bakmi Jawa di Kota Ini

Angkringan sudut kota malam itu begitu hangat. Bersama dingklik panjang, gerobak, dan meja kayu. Kadang ada kursi plastik. Kadang ada tikar. Tak lupa juga sinar-sinar lampu temaram.

1748589_20150208095541

Sumber gambar : http://www.kaskus.co.id/thread/54d7481612e25722068b4573/jogja-istimewa-filosofi-kesederhanaan-angkringan/

Kita berdua suka meneguk segelas es teh walau saat itu adalah malam hari. Kadang air jeruk hangat, atau pernah juga jahe yang diseduh tidak terlalu panas. Kita berdua juga suka menyantap sebungkus nasi kucing. Kamu sering menghabiskan dua atau tiga bungkus sekali santap. Aku tahu sekali kalau kamu sangat suka sambal teri. Kalau stoknya habis, kamu sering menggerutu dan terpaksa menyantap sebungkus nasi lauk oseng tempe dengan bersungut-sungut. Aku tidak suka mendoan, kamu juga. Aku lebih suka bakwan, tapi kamu lebih suka tahu isi.

Kadang kamu membawaku ke warung indomi di pojok perempatan kota ketika aku bilang aku jenuh dengan nasi. Kita lalu dengan senang hati pergi ke sana untuk menyantap semangkuk mi dan nonton tv. Kadang, di warung indomi itu, para pengamen berdatangan silih berganti, termasuk para banci-banci yang sedang mencari sesuap nasi. Banci-banci itu menggodamu. Kadang aku sebal. Tapi pantas jika para banci itu menyukaimu. Kamu memang tampan dan tak segan-segan mengeluarkan beberapa koin rupiah dari kantong tas kuliahmu untuk mereka.

Kalau kamu sedang pusing, aku suka mengajakmu ke gerobak bakmi jawa yg luarbiasa enaknya. Sepiring bakmi jawa rebus yang panas dan berasap akan meringankan pusingmu karena aktivitasmu yg padat di kampus. Penjualnya ibu-ibu separo baya dan suaminya. Terkadang kita membicarakan mereka di tengah-tengah menyantap sepiring bakmi. Suami istri itu begitu kompak. Walau repot karena harus momong anaknya yang rewel, sang istri tetap dengan sabar melayani pembeli. Sang suami dengan suara khasnya sering berkata,”Adek diem dulu to, bapak lagi nggoreng. Nanti ya, beli lolinya nanti.” Betapa sungguh-sungguh mereka mencari nafkah. Terkadang, kita bertanya-tanya, kalau pagi apakah mereka berdua masih kerja juga? Terus bumbu sebanyak itu dibikinnya pas kapan ya? Terus mereka tiap hari belanja dong berarti? Eh, apa mereka memang punya stok?

Yang aku ingat, pernah suatu ketika ibunya memberikan es teh gratis untuk kita berdua.

Pernah juga, waktu matahari sedang terik-teriknya, kamu menjemputku di perbatasan kota ketika aku kembali dari desa. Kita mampir di penjual es dawet pinggir jalan. Penjualnya ibu-ibu yang wajahnya dipenuhi guratan, namun sangat ramah. Di tengah keramaian kota, segelas es dawet dengan gula jawa adalah ramuan top pelepas dahaga.

Dengan diselingi obrolan-obrolan kecil, es dawet terasa lebih segar. Ibu itu bertanya,”Mbaknya kuliah di mana?” Lalu aku menyebutkan salah satu perguruan tinggi negri di kota ini sebagai jawabannya. Ibu itu kemudian menjawab lagi,”Wah, mbaknya pinter berarti.” Aku nyengir. Kamu juga. Jawaban yang sangat klasik ketika kita menyebutkan nama kampus kita. Padahal tidak semua orang yang kuliah di sana pandai seperti yang ibu itu kira. Aku contohnya. Aku biasa saja. Aku bahkan berusaha keras untuk mengikuti perkuliahan dan menyelesaikan tugas-tugasku. Tapi kamu tidak, kok. Kamu pintar. Nilaimu selalu bagus. Hm, lupakan soal nilai. Kemudian yah, obrolan kemudian mengalir dengan sendirinya. Kita lalu tahu bahwa ibu itu mempunyai satu anak perempuan yang masih SMK dan bercita-cita masuk di perguruan tinggi tempat kita berkuliah. Kemudian kita mengamini bersama doa ibu itu.

Kamu pernah bilang, berkencan di warung indomi, angkringan, tenda bakmi, atau minum es dawet di pinggir jalan memang tak seberapa romantis dibanding dengan minum segelas kopi dan sepotong kue donat di gedung-gedung bertingkat gemerlapan, atau di rumah berkaca dengan lampu indah kelap-kelip. Iya aku tahu, bahkan tanpa kamu bilang. Aku tahu betul aku tidak butuh pergi ke tempat-tempat itu karena kamu juga tidak menunjukkan minatmu ke sana.

Kamu kemudian bilang, dengan berkencan di warung indomi, angkringan, tenda bakmi, atau minum es dawet di pinggir jalan, sebenarnya kita sudah turut membantu kelangsungan usaha para pedagang kecil. Siapa tahu, sebungkus dua bungkus nasi yang kita lahap dapat membantu menyekolahkan anak-anak mereka. Siapa tahu, segelas dua gelas es dawet yang kita minum, dapat membantu mereka membelikan obat untuk keluarga yang sakit. Siapa tahu, dengan jajan di warung indomi kita dapat membantu mas-mas penjualnya mengirimkan sejumlah rezeki untuk ibu di kampungnya. Siapa tahu, dengan membeli sepiring bakmi jawa kita ikut membantu sepasang suami istri membahagiakan keluarga kecil mereka.

Siapa tahu, hidup mereka hanya bergantung pada dagangan yang mereka jajakan di gerobak mereka. Siapa tahu, dengan kita berkunjung ke warung-warung kecil mereka, pengangguran di negeri ini sedikit demi sedikit bisa teratasi.

Aku hampir tidak peduli jika itu semua hanya alibimu untuk menutupi kebokekan agar terlihat elegan. Aku malah sangat terkesima.

“Kapan-kapan bolehlah kita makan es krim di sana.” katamu, sambil menunjuk bangunan megah yang ada di seberang jalan.

Mungkin karena itu, setelah beberapa waktu berlalu; meskipun aku pernah pergi makan dengan beberapa teman lelaki dan kamu pun juga pergi berkencan dengan perempuan lain beberapa kali, aku tetap menyukaimu.

Salam

Untuk warung indomi, angkringan, gerobak bakmi, dan juga untukmu.