KKN Ajang Belajar #1: Posyandu Lansia

Such an honour.
Ilmu Allah luas sekali. Rasanya semakin bodoh saja aku ini begitu belajar mengenal satu-dua hal lain yang jauh di luar bidang; padahal masih banyak bidang lain dan pasti punya keseruan masing-masing.
Berkutat di bidang Sastra-Linguistik-Naskah Lama selama tiga tahun tidak kunjung membuat otakku penuh. Justru rasanya otakku semakin melebar-melar; makanya rasanya kayak nggak belajar apa-apa padahal sebenarnya tiga tahun ini dapat banyak hal. Mungkin tandanya harus coba belajar hal lain juga. Siapa tahu, teori Ferdinand de Saussure, Saphir Worf, Chomsky, Teew, Stanton, Wellek Warren, Goldman, dan teman-temannya itu bisa berdampingan dengan ilmu bidang lain.

Jadi ceritanya, minggu kelima Kuliah Kerja Nyata di Desa Banyuyoso, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo akan ada program namanya Cek Kesehatan Gratis yang digabung dengan Posyandu Lansia. Karena di tim KKN kami mahasiswa dari kluster Medika hanya dua orang saja, kami berasumsi bahwa kami akan kekurangan tenaga untuk proses pemeriksaan kesehatan esok harinya. Akhirnya, beberapa orang yang kebetulan hari itu tidak ada program diamanahi untuk turut serta menjadi tenaga medis dadakan. Hanya untuk mendata tinggi dan berat badan, cek tekanan darah, dan membantu sedikit di cek gula, kolesterol, serta asamurat.

Di sinilah kami dapat pelajaran lain dalam perjalanan KKN kami. Saling tukar ilmu dan menyerap banyak ilmu bakal didapatkan pada masa-masa KKN seperti ini. Belum tentu kami akan dapat tukar ilmu dan wawasan pada kesempatan lain.


Halah. Ngomong tok sih sakjane aku tu. Biasaaaaaa, excited karena baru bisa bantu cek tekanan darah. Kkk ujung kuku banget ngga sih ah. Intinya, ilmu Allah itu seluas samudera sedangkan ilmu manusia seperti setitik air; itu pun dari keran yang sanyonya mati.

Photo credits : @fhdayati
#KKNLyfe #KKNPPMUGM2017 #CekUpKesehatan #SuchAnHonour

BENARKAH KITA SUDAH TIDAK SALING PEDULI?

Kantuk menyerang saya malam itu ketika saya berusaha membaca dan memahami materi Strukturalisme Saussure untuk UTS Perkembangan Teori Linguistik esok hari. Oleh karena itu, saya sempatkan sejenak untuk memainkan handphone saya. Buka sana, buka sini. Scroll sana, scroll sini. Hingga akhirnya, saya menemukan sebuah tulisan agak panjang di linimasa. Tulisan ini ditulis oleh pemilik akun bernama Hana B. Adiningsih. Tulisannya di linimasa ini sudah dibagikan oleh dua ribu lebih pengguna akun line, termasuk beberapa teman saya yang juga ikut menyukai dan membagikan tulisan ini.

Begini bunyi tulisannya :

Dulu saya kaget ketika beberapa teman saya cerita mereka pernah/sedang mengalami disorder tertentu. Bipolar, ADHD, anxiety disorder, depresi, skizofrenia. Karena di kehidupan sehari-hari mereka hampir ga ada bedanya dengan teman-teman lain. Kita ketawa bareng, main bareng, kerja bareng. Mereka semua terlihat menjalani hidup dengan baik-baik aja. Tau-tau ternyata ada yang pernah ingin bunuh diri, mengurung diri di kamar 3 hari, menyakiti diri sendiri, mau kabur dari rumah, ga makan berhari-hari, merasa restless dan susah konsentrasi, dll. Mereka hanya susah buat cerita aja.

Sekarang saya mengerti.

Ya memang sesulit itu hidup di kota yang sekeras ini. Orang hanya cari kita karena alasan profesional. “Jangan lupa tugas ini.” “Kumpulin ini jam 8 malem ya.” “Besok harus dateng rapat ini itu.” Bahkan sebuah “Apa kabar?” sekalipun ada tujuan formal di baliknya.

Yang bermasalah menutup diri karena tau orang-orang hanya akan menuntut dan takut dianggap lemah. Yang menuntut juga ga tau gimana caranya bantu karena sibuk dengan urusan masing-masing dan ga tau bagaimana caranya memulai. Atau lebih parah lagi, ada yg menganggap orang-orang itu lembek dan ga mau usaha. Padahal namanya sakit ya sakit aja. Kenapa ketika temen kita demam kita bisa nyuruh dia istirahat tapi ketika dia tidak bisa function well karena masalah psikis, kita malah bilang dia kerjanya ga bener tanpa mau tahu di baliknya mungkin ada masalah besar. Mungkin karena masyarakat susah untuk tau kapan masalah di dalam dirinya itu bisa dikategorikan sesuatu yang serius ya.

Pada akhirnya tidak ada gunanya menyalahkan siapa-siapa. Mungkin sudah saatnya kita lebih peduli sama teman-teman kita yang mendadak hilang, berubah, sakit-sakitan, jadi tertutup, susah dihubungi, bicaranya susah dipahami, nangis terus, dan semacamnya.

Sebuah “Apa kabar?” yang tulus mungkin hal kecil buat kita.

Tapi tidak buat mereka.

Setelah membaca tulisan itu, saya menghela nafas agak panjang.

Jujur. Ada hal yang sangat saya takutkan. Ada beberapa hal dalam tulisannya yang memang terjadi juga di sekitar saya. Jangan-jangan, konsepsi yang selama ini sedang berkembang seperti ‘semua orang punya prioritasnya masing-masing’ adalah suatu bentuk manifestasi dari masyarakat multikultural yang sedang berjalan menuju masyarakat yang lebih, ehm, mungkin, individualis. Jangan-jangan seperti itu, atau kalau tidak, itulah yang saya takutkan. Seiring berjalannya waktu dan kemajuan zaman, manusia pun mulai memiliki target-target yang harus dicapai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Hal tersebut menuntut mereka untuk bekerja keras demi mencapai tujuan mereka. Mereka pun berjalan sendiri-sendiri. Sesuai targetnya masing-masing. Sesuai prioritasnya masing-masing.

Akhirnya terjadilah kehidupan kota yang, mungkin, penuh kepentingan ini. Benar kata mbak Hana, orang terkadang hanya mencari satu sama lain karena alasan profesional atau  punya kepentingan tertentu.

“Jangan lupa tugas ini.”

“Kumpulin ini jam 8 malem ya.”

“Besok harus dateng rapat ini, jangan lupa juga kumpul itu.”

Bahkan sebuah “Apa kabar?” sekalipun ada tujuan atau kepentingan-entah-apa-itu di baliknya.

Benarkah kita sudah semenyeramkan itu?

Ya. Saya sebut itu hal yang menyeramkan. Kita semua tahu bahwa kodrat manusia adalah membutuhkan orang lain. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu, akan menjadi hal yang menakutkan apabila kebutuhan ‘bersosialisasi’ yang dulu sarat akan kehidupan harmonis bermasyarakat, sekarang sudah bergeser ke ranah yang lebih profesional, penuh tendensi dan kepentingan, saling memberi keuntungan, atau bersimbiosis mutualisme. Bila ada pihak yang tidak sejalan dan tidak memberi keuntungan, seseorang akan meninggalkannya dan berpaling ke orang atau komoditas lain yang lebih menguntungkan. Ia tidak akan peduli pada yang ia tinggalkan, bagaimana pun keadaannya, karena ia berbeda dengan tujuannya. Ia tidak akan peduli sekali pun yang ditinggalkan mengalami keterpurukan, kesusahan, atau apa pun. Yang penting ia dapat mengejar tujuannya sendiri. Yang penting ia dapat memenuhi targetnya sendiri.

Saya mulai berpikir. Mungkin benar kata dosen saya. Saat ini telah terjadi kesenjangan antara konvensi masyarakat dan inovasi.

Bagi sebagian orang, mereka ingin mempertahankan tradisi berhubungan sosial, seperti bertegur sapa, mengobrolkan hal satu dengan yang lain, membaur dengan orang lain tanpa ada tendensi atau kepentingan apapun, bergotong royong membersihkan lingkungan, membesuk orang sakit, datang kenduren, dan lain-lain. Bahkan peduli dengan teman yang mulai merasa restless atau susah dihubungi pun harusnya bukan menjadi masalah yang besar.

Mereka yang mengalami disorder tertentu kadang butuh keberadaan kita. Mereka butuh telinga kita. Mereka perlu kita untuk menguatkan mereka. Sehingga kasus bunuh diri akibat tekanan hidup yang berat di sana-sini tidak perlu terjadi.

Di sisi lain, sebagai manusia yang ingin maju dan memperbaiki kehidupannya, mereka punya target-target tersendiri yang harus mereka capai. Mereka punya tujuan hidup yang hanya dapat diwujudkan dengan orang-orang tertentu. Mereka punya beberapa tanggung jawab yang memang harus mereka tunaikan, bukan hanya kepada masyarakat, tapi juga kepada orang tua dan keluarga yang berharap besar akan keberhasilan hidupnya. Hal tersebut menyita banyak hal lain sehingga perlu ruang dan waktu ekstra untuk peduli terhadap sesamanya.

Dan yang paling tidak bisa diubah adalah, manusia hanya punya waktu 24 jam saja sehari. Tidak kurang, tidak lebih.

Jadi, kita harus berbuat apa?

Saya juga tidak dapat menjawabnya secara konkret, hm, maafkan saya. Ini juga tantangan sulit untuk saya.

Akan tetapi, saya hanya berharap, untuk alasan apapun, jangan sampai kita menjadi orang-orang yang tidak peduli dengan teman, orang tua, maupun lingkungan sekitar. Meski tangan dan kaki yang kita miliki hanya sepasang dan waktu yang kita punya hanya 24 jam sehari, semoga kita masih bisa peduli dengan sesama. Peduli tanpa tendensi. Peduli tanpa kepentingan. 

Mari peduli dengan cara kita masing-masing. 🙂

Malam Ini Aku Tersedu, Ibu

“Masa kebiasaan ibu sendiri nggak tahu. Biasanya kan kalau ibu-ibu suka masak, atau belanja, atau apa. Lha kalau kebiasaan ibumu yang paling kamu ingat apa?”

Mungkin mudah untuk sebagian orang menjawab pertanyaan itu. Tidak untukku. Tidak untuk sebagian orang yang mungkin tertimpa nasib yang sama denganku.

Hari itu, aku menghadiri kuliah pagi. Dosen pengampu mata kuliah itu suka sekali memulai kuliah dengan hal-hal yang tidak terduga. Seperti pagi itu. Begitu ia meletakkan tasnya di kursi dosen, ia melangkah mendekat ke arahku kemudian bertanya,”Apa kebiasaan ibumu yang paling kamu ingat?” Aku diam. Mencerna pertanyaan dosenku dengan seksama. Aku menimbang-nimbang beberapa jawaban untuk satu pertanyaan sederhana itu. Ada keheningan yang cukup panjang. Rupanya hal itu membuat dosenku itu mengernyitkan dahi. Aku menghela nafas.

“Masa kebiasaan ibu sendiri nggak tahu. Biasanya kan kalau ibu-ibu suka masak, atau belanja, atau apa. Lha kalau kebiasaan ibumu yang paling kamu ingat apa?”

Entah kenapa tenggorokanku tercekat. Aku ingin memberikan jawaban namun aku tidak tahu mengapa tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Dosenku masih terus melihat ke arahku. Seolah-olah menagih jawaban.

Aku menghela nafas sebentar. Kemudian aku menggelengkan kepala. Dosenku itu makin mengernyitkan dahi. “Kalau kebiasaan bapakmu yang paling kamu ingat apa?” tanya dosen itu, masih kepadaku. Aku menimbang-nimbang sebentar. “Bapak saya suka membaca koran, Pak”, jawabku mantap, dan sedikit nyengir. Lalu dia kembali ke depan kelas. Aku tidak tahu apakah ia cukup puas dengan jawabanku atau tidak. Di depan kelas ia menerangkan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu. Entah ia sudah memulai kuliah atau masih membahas jawabanku atas pertanyaannya tadi.

Mungkin, tak ada yang menyadari aku berkaca-kaca.

Mungkin, tak ada yang menyadari aku menunduk, pura-pura mencatat. Aku sebenarnya sedang berusaha agar air mataku tidak jatuh. Aku tidak tahu mengapa aku menjadi begitu emosional hanya karena satu pertanyaan sederhana itu.

Ah, ibu.

img_0133-copy

Sudah sekian lama, ya sejak ibu pergi. Aku sepertinya terlalu cinta kepada ibu, sampai-sampai, walau ibu sudah lama pergi, aku selalu ingin menangis ketika sekelilingku melontarkan pertanyaan tentang ibu atau membicarakan segala hal tentang ibu-ibu mereka.

To be honest, ada sebagian hatiku yang menolak saat aku tiba-tiba pengen nangis hanya karena pembicaraan tentang ibu kadang menjadi perbincangan hangat di antara teman-temanku. “Apaan sih. Ibu pergi sudah lama sekali, masa sih masih mau nangis? Masa sih belum terbiasa?”. Iya, ini sudah hampir delapan belas tahun sejak ibu meninggal. Meninggalkan aku yang belum mekar dan adikku yang masih kuncup. Meninggalkan bapak sendirian. Benar-benar sendirian, karena setelah itu bapak ternyata tidak pernah ke lain hati. Secara rasional, dalam waktu selama itu harusnya aku sudah terbiasa dengan pembicaraan-pembicaraan tentang ibu yang aku tidak bisa masuk ke dalamnya. Aku harusnya sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan semacam kalo-ibumu-kerja-apa. Aku harusnya juga sudah terbiasa memulai perkenalan, untuk berteman maupun wawancara beasiswa, dengan menyebutkan namaku dan menjelaskan kembali keadaan kalau aku-hanya-punya-ayah-dan-ibuku-sudah-meninggal. Harusnya aku sudah terbiasa. Harusnya. Tapi ternyata tidak.

Bukan. Bukan karena tidak biasa. Kematian ibuku mungkin menjadi enigma yang memang diberikan Tuhan untuk kehidupanku, adik, dan bapak. Enigma yang mungkin tidak akan pernah terjawab. Sehingga aku, adik, dan bapak, serta mungkin orang-orang yang memiliki nasib sama denganku akan mencoba mengikhlaskan dengan pegangan,”Ya. Ini sudah takdir. Kita wajib mengimani rukun iman yang keenam, qada dan qadar.” Oleh karena itu, kami bertiga, kuat sampai sekarang mengarungi kesulitan-kesuitan di dalam keluarga kecil kami. Walaupun ya, kesulitan-kesulitan ini kok ya nggak habis-habis. Tapi, kami akan terus melewati ini, bareng-bareng.

Dan yah, to be fair, tumbuh tanpa seorang ibu adalah hal yang sulit. Sangat sulit. Aku tidak akan memaparkan segala ombak-badai-angin-kencang kehidupanku tanpa ibuku di sini. Yang jelas, sebagai seorang perempuan, akan sulit tentunya jika kamu tumbuh besar tanpa seorang ibu. Ketika kamu mulai pubertas, tidak ada yang mengajarimu pakai softex dengan benar, bagaimana cara membersihkannya, dan bagaimana bersucinya ketika sudah selesai berhadast. Tidak ada juga yang bisa ditanyai gimana caranya ngilangin jerawat. Ada, tapi jika kamu beruntung menemukan orang yang akan menasehatimu dengan kasih sayang seperti ibumu.

Ketika kamu mulai menginjak usia remaja, tidak ada tempat untuk membicarakan semua isi hati, unek-unek, mimpi-mimpi, dan juga target yang ingin kamu capai. Ada, tapi jika kamu beruntung menemukan orang yang tidak akan mencibiri mimpi-mimpimu. Ketika kamu mulai dewasa, tidak ada yang ramai menyuruhmu menyapu, mengepel, atau belajar memasak. Ada, tapi jika kamu beruntung menemukan orang yang dapat menyuruhmu karena peduli bukan meneriakimu karena benci.

Lebih dari itu. Aku selalu menganggap orang yang tumbuh besar dengan ibunya adalah orang yang beruntung. Mengapa? Aku kira jawabannya cukup jelas. Mereka bukan sekadar mempunyai orang tua, tapi juga punya teman hidup.

Aku selalu ingin menceritakan semua hal yang sudah aku lewati kepada ibuku sambil bermanja-manjaan di pelukannya. Ah, aku kadang ingin menanyakan hal-hal yang tidak mungkin aku tanyakan kepada ayahku. Dan yaaa… aku juga ingin memasak kue, menjahit baju, belanja buku, atau menanam pohon jeruk nipis di depan rumah bersama ibuku. Aku juga ingin menceritakan pacar pertamaku kepada ibuku, betapa tampannnya dia walaupun menyebalkan, tentang jarak umur kami, dan tentang hal-hal yang aku sukai darinya. Aku ingin menjadikan ibu tempat pertama aku mengadu ketika aku berantem dengan teman atau putus dengan dia. Pokoknya banyak yang ingin aku bagi dengan ibuku. Yah, dengan kata lain, ibu pokoknya jadi yang nomor satu.

Aku juga ingin tahu, ibu lebih suka pakai piyama atau daster. Aku ingin tahu, ibu lebih suka masak nasi pakai soblok atau pakai rice cooker. Aku ingin tahu, apakah ibu lebih suka menonton film romance atau comedy. Aku sih yakin kalau ibuku nggak akan suka sinetron. Aku juga yakin ibuku nggak suka nonton gossip. Mungkin, ibuku bisa jadi teman untuk nonton drama korea bareng. Lalu kita sama-sama akan mengagumi betapa gantengnya Lee Jong Suk.

Ah, tapi ibu pasti sudah bahagia di sana kan ya?

Ibu, anakmu sudah besar. Kita berdua sudah bisa lho, meringankan beban bapak. Kita sudah bisa mengurus diri kita sendiri. Jadi ibu tidak perlu khawatir. Ibu baik-baik di sana. Kami akan mengirimkan ayat-ayat terbaik sebagai bukti cinta kami untuk ibu.

Aku sayang ibu.

Selamat ulang tahun, ibu.

Setiap hari aku merindukanmu sampai-sampai sesak dadaku.