Harta tidak Melulu Rupiah: Ajang Bersyukur
Sekarang ini rasanya kok hidup ini sangat sulit sekali. Semakin dewasa umur seseorang, ternyata masalah hidupnya juga semakin kompleks, terutama dalam masalah finansial. Beberapa waktu lalu, saat sempat meliput acara Penutupan Program Belajar Kebudayaan Jawa dan Indonesia Mahasiswa Universitas Osaka di Prodi Sastra Jawa. Salah satu mahasiswa dari Universitas Osaka tersebut sharingbahwa terdapat perbedaan antara mahasiswa UGM dan mahasiswa Jepang. Di Jepang, kebanyakan siswa dan mahasiswa bekerjaparttime untuk mencari uang karena ketika memasuki usia kuliah, mereka sudah tidak diberi uang saku lagi oleh orang tua mereka. Terbukti, 12 orang dari 15 orang yang datang ke UGM untuk belajar kebudayaan adalah seorang karyawan parttime di Jepang. Berbeda dengan mahasiswa di Indonesia yang sebagian besar masih dibiayai oleh orang tua mereka.
Ini membuat aku berpikir, seharusnya daya juang kita juga tidak boleh kalah dengan mereka. Ada ketimpangan yang luar biasa ketika seseorang mengikuti gaya hidup biar dibilang student college jaman now; ikut ekskul beken, rapat di kafe, ngerjain tugas di coffee shop berwifi, makan di foodcourt mall, beli sandangan di sista-sista olshop yang sudah tidak diragukan lagi up too datenya adalah gaya hidup mahasiswa jaman now yang kadang tidak diimbangi dengan daya juang.
Beberapa orang memang ada yang ulet, dia sembodo dengan pilihannya, gaya hidupnya adalah tanggung jawabnya, sehingga ia juga kerja keras untuk dapat memenuhi gaya hidup yang demikian.
Namun, kadang gaya hidup seperti itu sangat jauh dijangkau oleh anak-anak penerima beasiswa yang hidupnya ya cuma bergantung beasiswa itu. Terkadang, hanya dari beasiswa saja tidak cukup untuk menyokong kebutuhan hidupnya, Mereka bahkan ada yang berusaha jualan ini itu, kerja ini itu, demi tertutupnya kebutuhan hidup mereka selama berkuliah; ya seperti aku ini.
Tapi, bulan ini sungguh terlalu. Beasiswa tahap 1 belum cair karena satu dan lain hal. Begitu pula dengan honor sebagai kontributor tetap di suatu agensi dan platform blog; bulan ini telat. Aku merasa terciduk; tulisan ini ujung-ujungnya curhat juga. Mungkin, di luar sana juga banyak Suzash Suzash lain yang sama pontang-pantingnya karena berusaha memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri tanpa disokong orang tua sepeser pun lagi.
Merasa miskin dan payah, tentu saja pernah. Melihat teman-teman yang bahagianya ke sana kemari berkegiatan dan bersosial tanpa harus memikirkan rupiah tentu menimbulkan keirian terkadang. Ah, tapi rezeki kan milik masing-masing orang sudah diatur porsinya. Allah juga menyebarkan banyak rezeki di bumi-Nya; tinggal kita pantang menyerah atau tidak untuk berusaha mendapatkan rezeki itu.
Aku yakin, semua ini pasti akan berlalu. Lagi pula, setelah aku bermuhasabah, ternyata aku bukan orang yang terlampau miskin. Malah aku sangat kaya. Karena aku punya banyak harta, istana, bahkan mutiara. Coba lihat foto-foto di bawah ini.
“Harta yang paling berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah adalah keluarga. Puisi yang paling bermakna adalah keluarga. Mutiara paling berharga adalah keluargaaaaaa.”
-Keluarga Cemara-
Nyanyi dulu yuk lah 🙂
Kotak Makan
Hal paling romantis yang terjadi padaku hari ini adalah perkara bekal makan siang. Mungkin salah satu dari kamu pernah mengalaminya. Entah dengan temanmu, atau mungkin ibumu.
Kotak makan yang seringkali terlambat dikembalikan
Jadi, ada seseorang yang datang membawa bekal, tapi dia malah pesan siomay dan memberikan bekalnya padaku. “Kamu ngga usah pesen,” katanya, ketika siang tadi kami ketemuan dengan seseorang di sebuah tempat makan pada jam makan siang. Karena beberapa hal, uang di dompetku akhir-akhir ini memang menyedihkan. Aku harus sangat-sangat berhemat. “Kamu maem ini aja, aku yang pesen. Pesen apa ya? Hm. Siomay deh, siomay,” katanya.
Orang yang waktu itu kami temui agak heran, “Lah, kamu bawa bekal, tapi kamu pesen makan?”
Lalu dia cuma nyengir, menyerahkan kotak makan siangnya padaku yang berisi nasi lengkap dengan lauk pauk dan sayurnya. Sangat lumayan untuk mengganjal perut sampai malam. “Habisin,” katanya singkat, dan menolak ketika aku minta dia untuk ikut makan bekalnya. “Udah, makan aja, makan.” Lalu dia menyantap batagor pesenan masnya yang lama banget dianternya. Entah kenyang, entah enggak.
Mungkin gini ya rasanya, dibohongin ibu sendiri perkara makanan. Bohong-bohong dikit biar anaknya bisa makan. Bohong-bohong dikit biar anaknya kenyang. Ah, belom pernah aku merasakan ini.
Terima kasih ya, bukan hanya tentang makanannya, tapi untuk momennya.
Semoga Allah limpahkan kebaikan-kebaikan selalu, buatmu. I do love you.