Surat Cinta Untukmu, Warung Indomi, Angkringan, dan Gerobak Bakmi Jawa di Kota Ini

Angkringan sudut kota malam itu begitu hangat. Bersama dingklik panjang, gerobak, dan meja kayu. Kadang ada kursi plastik. Kadang ada tikar. Tak lupa juga sinar-sinar lampu temaram.

1748589_20150208095541

Sumber gambar : http://www.kaskus.co.id/thread/54d7481612e25722068b4573/jogja-istimewa-filosofi-kesederhanaan-angkringan/

Kita berdua suka meneguk segelas es teh walau saat itu adalah malam hari. Kadang air jeruk hangat, atau pernah juga jahe yang diseduh tidak terlalu panas. Kita berdua juga suka menyantap sebungkus nasi kucing. Kamu sering menghabiskan dua atau tiga bungkus sekali santap. Aku tahu sekali kalau kamu sangat suka sambal teri. Kalau stoknya habis, kamu sering menggerutu dan terpaksa menyantap sebungkus nasi lauk oseng tempe dengan bersungut-sungut. Aku tidak suka mendoan, kamu juga. Aku lebih suka bakwan, tapi kamu lebih suka tahu isi.

Kadang kamu membawaku ke warung indomi di pojok perempatan kota ketika aku bilang aku jenuh dengan nasi. Kita lalu dengan senang hati pergi ke sana untuk menyantap semangkuk mi dan nonton tv. Kadang, di warung indomi itu, para pengamen berdatangan silih berganti, termasuk para banci-banci yang sedang mencari sesuap nasi. Banci-banci itu menggodamu. Kadang aku sebal. Tapi pantas jika para banci itu menyukaimu. Kamu memang tampan dan tak segan-segan mengeluarkan beberapa koin rupiah dari kantong tas kuliahmu untuk mereka.

Kalau kamu sedang pusing, aku suka mengajakmu ke gerobak bakmi jawa yg luarbiasa enaknya. Sepiring bakmi jawa rebus yang panas dan berasap akan meringankan pusingmu karena aktivitasmu yg padat di kampus. Penjualnya ibu-ibu separo baya dan suaminya. Terkadang kita membicarakan mereka di tengah-tengah menyantap sepiring bakmi. Suami istri itu begitu kompak. Walau repot karena harus momong anaknya yang rewel, sang istri tetap dengan sabar melayani pembeli. Sang suami dengan suara khasnya sering berkata,”Adek diem dulu to, bapak lagi nggoreng. Nanti ya, beli lolinya nanti.” Betapa sungguh-sungguh mereka mencari nafkah. Terkadang, kita bertanya-tanya, kalau pagi apakah mereka berdua masih kerja juga? Terus bumbu sebanyak itu dibikinnya pas kapan ya? Terus mereka tiap hari belanja dong berarti? Eh, apa mereka memang punya stok?

Yang aku ingat, pernah suatu ketika ibunya memberikan es teh gratis untuk kita berdua.

Pernah juga, waktu matahari sedang terik-teriknya, kamu menjemputku di perbatasan kota ketika aku kembali dari desa. Kita mampir di penjual es dawet pinggir jalan. Penjualnya ibu-ibu yang wajahnya dipenuhi guratan, namun sangat ramah. Di tengah keramaian kota, segelas es dawet dengan gula jawa adalah ramuan top pelepas dahaga.

Dengan diselingi obrolan-obrolan kecil, es dawet terasa lebih segar. Ibu itu bertanya,”Mbaknya kuliah di mana?” Lalu aku menyebutkan salah satu perguruan tinggi negri di kota ini sebagai jawabannya. Ibu itu kemudian menjawab lagi,”Wah, mbaknya pinter berarti.” Aku nyengir. Kamu juga. Jawaban yang sangat klasik ketika kita menyebutkan nama kampus kita. Padahal tidak semua orang yang kuliah di sana pandai seperti yang ibu itu kira. Aku contohnya. Aku biasa saja. Aku bahkan berusaha keras untuk mengikuti perkuliahan dan menyelesaikan tugas-tugasku. Tapi kamu tidak, kok. Kamu pintar. Nilaimu selalu bagus. Hm, lupakan soal nilai. Kemudian yah, obrolan kemudian mengalir dengan sendirinya. Kita lalu tahu bahwa ibu itu mempunyai satu anak perempuan yang masih SMK dan bercita-cita masuk di perguruan tinggi tempat kita berkuliah. Kemudian kita mengamini bersama doa ibu itu.

Kamu pernah bilang, berkencan di warung indomi, angkringan, tenda bakmi, atau minum es dawet di pinggir jalan memang tak seberapa romantis dibanding dengan minum segelas kopi dan sepotong kue donat di gedung-gedung bertingkat gemerlapan, atau di rumah berkaca dengan lampu indah kelap-kelip. Iya aku tahu, bahkan tanpa kamu bilang. Aku tahu betul aku tidak butuh pergi ke tempat-tempat itu karena kamu juga tidak menunjukkan minatmu ke sana.

Kamu kemudian bilang, dengan berkencan di warung indomi, angkringan, tenda bakmi, atau minum es dawet di pinggir jalan, sebenarnya kita sudah turut membantu kelangsungan usaha para pedagang kecil. Siapa tahu, sebungkus dua bungkus nasi yang kita lahap dapat membantu menyekolahkan anak-anak mereka. Siapa tahu, segelas dua gelas es dawet yang kita minum, dapat membantu mereka membelikan obat untuk keluarga yang sakit. Siapa tahu, dengan jajan di warung indomi kita dapat membantu mas-mas penjualnya mengirimkan sejumlah rezeki untuk ibu di kampungnya. Siapa tahu, dengan membeli sepiring bakmi jawa kita ikut membantu sepasang suami istri membahagiakan keluarga kecil mereka.

Siapa tahu, hidup mereka hanya bergantung pada dagangan yang mereka jajakan di gerobak mereka. Siapa tahu, dengan kita berkunjung ke warung-warung kecil mereka, pengangguran di negeri ini sedikit demi sedikit bisa teratasi.

Aku hampir tidak peduli jika itu semua hanya alibimu untuk menutupi kebokekan agar terlihat elegan. Aku malah sangat terkesima.

“Kapan-kapan bolehlah kita makan es krim di sana.” katamu, sambil menunjuk bangunan megah yang ada di seberang jalan.

Mungkin karena itu, setelah beberapa waktu berlalu; meskipun aku pernah pergi makan dengan beberapa teman lelaki dan kamu pun juga pergi berkencan dengan perempuan lain beberapa kali, aku tetap menyukaimu.

Salam

Untuk warung indomi, angkringan, gerobak bakmi, dan juga untukmu.

PRODUK BUDAYA: KUNCI KESUKSESAN NEGRI GINGSENG

Sudah beberapa tahun ini, budaya Korea berkembang pesat dan masuk ke Indonesia, terutama budaya K-Pop. K-Pop adalah kepanjangan dari Korean Pop yang berarti musik popular yang berasal dari Korea Selatan. Banyak artis dan kelompok musik pop Korea, atau yang lebih akrab disebut girlband dan boyband, sudah menembus batas dalam negeri dan populer di mancanegara. Kepopuleran ini juga menciptakan sindrom baru di kalangan remaja di berbagai dunia yang disebut dengan Korean wave atau demam Korea di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia.

Populernya budaya K-Pop sampai terjadi Korean wave di berbagai negara membuat aspek-aspek lain yang berbau Korea juga sampai di Indonesia. Aspek-aspek lain tersebut adalah kuliner, fashion, dan teknologi. Ketiga aspek tersebut ikut mendunia bersama K-Pop.

kpop-fansKorean Fans

Masih ingat bagaimana tanggapan dunia terhadap iPad saat pertama kali dipresentasikan Steve Job? Banyak orang yang merasa Amerika begitu keren dan beruntung memiliki Steve Job. Sejak saat itu, banyak orang mulai menggunakan produk apple untuk menunjang pekerjaan, bisnis, maupun kegiatan sehari-harinya. Namun, beberapa tahun kemudian Samsung berhasil go internasional dengan membawa banyak modifikasi-modifikasi yang mutakhir. Tak sedikit pengguna produk mac yang kemudian berpaling ke Samsung.

Saya juga tidak punya kapabilitas banyak untuk membicarakan teknologi dan spesifikasi Apple maupun Samsung. Akan tetapi, hal saya bagi di sini adalah pandangan saya tentang Korea yang berhasil mendunia dengan produk budayanya.

Sejarah Masuknya Produk Budaya Korea ke Indonesia

Pada tahun 2002, Piala Dunia diselenggarakan di Korea Selatan dan Jepang. Sebagai tuan rumah, Korea saat itu sukses menempati urutan ke-4. Ia keluar sebagai kekuatan baru Asia dalam dunia sepakbola dan berhasil menjadi perhatian dunia karena prestasinya itu. Hal tersebut menjadi titik balik kebangkitan Korea di dunia.

Beberapa waktu selama piala dunia berlangsung, beberapa stasiun televisi swasta tanah air gencar menayangkan drama maupun film Korea. Keberhasilan drama Korea mengambil hati masyarakat Indonesia dapat dibilang cukup berhasil. Hal tersebut dibuktikan dengan tingginya minat penonton terhadap serial drama Korea yang pertama kali ditayangkan saat itu, Endless Love. Serial drama Korea ini disambut baik oleh masyarakat. Suksesnya Endless Love membuat stasiun tv lokal lebih gencar mengimpor drama dari negeri gingseng ini. Serial drama seperti Winter Sonata, Full House, Princess Hours, sampai Boys Before Flower tak kalah sukses menarik perhatian masyarakat Indonesia. Bahkan, aktor dan aktris pada drama tersebut menjadi idola baru.

endless_love-kd-p01Endless Love

fullhouse_newsletterFull House

Populernya serial drama tersebut membuat segala sesuatu berbau Korea diminati di Indonesia, salah satunya dalam bidang musik. Pada umumnya drama-drama tersebut menghadirkan original soundtrack yang dinyanyikan oleh aktor atau aktrisnya sendiri. Kedinamisan musik Korea dengan dramanya ini cukup memiliki daya pikat sehingga musik Korea diminati. Selanjutnya, mulai muncul boyband dan girlband. Variasi musik yang ditawarkan bermacam-macam, mulai dari pop, dance, electropop, hiphop, rock, maupun R&B. Ketampanan dan kecantikan dari artis Korea juga menjadi salah satu alasan masyarakat menyukai budaya K-Pop.

Setelah itu, mulai muncul korean fashion, yang barang-barang palsunya banyak dijual di pasar-pasar tradisional, entah KW keberapa. Ada satu hal yang membuat saya heran, Korea jarang melakukan branding atas korean movies seperti yang dilakukan FOX, Universal, atau industri-industri film Amerika lainnya. Jarang film Korea yang masuk bioskop dan melakukan kampanye kepada masyarakat agar membeli film-film aslinya. Entahlah. Akan tetapi, mereka justru terkesan ‘menerima’ berbagai macam pembajakan, entah itu film, serial drama, musik, fashion, aksesori, dan sebagainya. Sebagai penikmat dan pembelajaran urban culture, saya menilai Korea sangat cerdas dalam hal ini.

Maka dari itu, banyak produk dari mereka yang dikonsumsi dan dinikmati oleh para penggemarnya di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Strategi Cerdas Korea dengan Produk Budayanya

Kita hanya melihat keberhasilan Korea dalam menyebarkan virus-virus K-Pop dan industri hiburan lain. Kalau kita mau melihat lebih dalam, produk budaya adalah kata kunci dari kesuksesan Amerika menjadi negara adidaya. Saya yakin Korea juga memikirkan hal yang sama. Itulah sebabnya mereka mengobral segala macam bentuk produk budaya untuk menjadi sebuah cara pandang  populer mengenai hal-hal kekinian, seperti lelaki ganteng, perempuan cantik, warna yang indah, kisah yang romantis, bentuk fisik manusia yang sempurna, musik yang asyik, dan hal populer lain yang membuat horizon harapan penikmatnya senang.

Sembari mengobral produk budaya, Korea bekerja keras untuk melakukan inovasi dan menjual produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Produk iptek tersebut mampu bersaing dengan produk-produk dunia yang telah mapan lebih dulu. Korea mempunyai strategi memasarkan produk mereka dengan harga yang murah sehingga menarik perhatian pasar. Setelah mengeluarkan produk smartphone mini tersebut, Samsung gencar mengeluarkan produk-produk lainnya, seperti Tab, Note, Samsung ATIV, dan banyak produk-produk berkembang lainnya.

Pemasaran produk tersebut juga sangat unik. Produk tersebut digunakan oleh tokoh-tokoh serial drama dan juga artis-artis boyband maupun girlband yang digemari masyarakat. Dengan begitu, masyarakat akan tertarik untuk membelinya karena produk tersebut digunakan oleh idola mereka. Tidak hanya produk iptek saja, akan tetapi juga pakaian, aksesori, dan berbagai macam makanan.

pinocchio-e16-mkv_000244711Lee Jong Suk menggunakan smartphone di dramanya

1460977438_14-makanan-yang-sering-muncul-di-variety-show-drama-korea-yang-harus-kita-cobaLee Min Ho disuapin Kimbab

Dengan melihat hal di atas tadi, mau tidak mau kita harus objektif menilai bahwa Korea terkenal bukan hanya dari K-Popnya saja. Di Jogja, saya mulai melihat produk KIA dan Hyundai merambah pasar dengan strategi yang sama dengan Samsung. Bisa jadi Toyota tersingkir dalam kurun waktu tertentu.

Karena negara ini sangat getol menjual produk budayanya melalui K-Pop, ternyata ini juga berpengaruh terhadap produk budaya tradisional mereka. Budaya tradisonal Korea juga ikut terangkat ke kelas Asia bahkan dunia, seperti pakaian adat Korea, yaitu handbook, musik tradisonal Korea, yaitu Madangbal Salmunori, dan ada juga tari kipas tradisional, yaitu Buchaecum. Tidak hanya itu, warung-warung makan yang menjual makanan khas Korea juga sudah banyak ditemui di Indonesia. Para penggemar dan penikmat produk budaya Korea juga dapat merasakan langsung kuliner khas Korea, seperti kimbab, kimchi, bulgogi, bimbibap, jajangmyeon, dan sebagainya. Oleh karena itu, Korea dapat diprediksi akan menjadi negara yang ekonominya kuat beberapa tahun ke depan.

 Kapan Indonesia?

Nah, saya tidak akan merasa heran dan kagum terlalu lama dengan kerja keras Korea. Memang butuh waktu yang untuk mengamati perkembangan Korea, membaca literaturnya, serta mempelajari budaya dan bahasanya untuk tahu strategi-stragegi lain yang dimiliki Korea untuk menaikkan ekonomi nasional. Namun, kita tidak boleh berlarut. Jika Korea bisa, kita jangan lupa bahwa Indonesia juga mempunya potensi besar. Indonesia adalah negara maritim. Anak-anak yang makan ikan laut organic di desa-desa pesisir mempunyai IQ yang tinggi. Gizi mereka banyak. Sumber daya manusia dan juga sumber daya alam kita lebih besar daripada Korea. Apalagi masalah budaya. Indonesia jauh lebih kaya akan produk budaya daripada Korea. Korea yang memiliki sumber daya alam yang terbatas saja bisa menggunakan strategi-strategi jitu mereka. Bagaimana dengan Indonesia?

Sayangnya, kita belum mau berpikir agar Indonesia jadi semakin maju. Daya juang dan kemauan belajar anak Indonesia masih kurang. Minat baca dan menulis di kalangan pelajar serta mahasiswa juga masih minim sekali. Selain itu, faktor kemiskinan masih menjadi penghalang masyarakat menengah ke bawah untuk dapat mengenyam bangku pendidikan. Marilah generasi muda Indonesia untuk berhenti berleha-leha. Mari kita bekerja keras bersama untuk membuat Indonesia menjadi lebih jaya dengan potensi yang luar biasa ini. Mari berhenti mengeluhkan ini-itu. Mari belajar lebih banyak lagi.

Saya mau melanjutkan belajar dan berkarya. Bagaimana dengan teman-teman?