Novel Sabtu Bersama Bapak Karya Adhitya Mulya: Pelajaran dari Seorang Bapak

Bapak minta kalian bermimpi setinggi mungkin. Dengan syarat, kalian merencanakan dengan baik. Bapak minta kalian bermimpi setinggi mungkin. Dengan syarat, kalian rajin dan tidak menyerah. Bapak minta kalian bermimpi setinggi mungkin. Tapi mimpi tanpa rencana dan action hanya akan membuat anak istri kalian lapar. Kejar mimpi kalian. Rencanakan. Kerjakan. Kasih deadline.”

DSC_8602

Sebagai mahasiswa di jurusan sastra Indonesia, saya mengakui bahwa di sekeliling saya banyak sterotipe yang agak ‘malesi’ mengenai karya-karya sastra populer. Banyak orang dari jurusan saya, entah itu dosen atau mahasiswa, merasa agak malas untuk membaca karya sastra populer. Kalau pun terpaksa harus baca, paling ya, dibuka halaman pertama aja. Habis itu, langsung menuju halaman terakhir. Halaman kedua dan seterusnya kapan-kapan aja nek selo. Toh, ceritanya bisa ketebak, kan? 😉

Karya sastra populer seringkali diidentikan dengan karya sastra yang ‘picisan’, ‘menye-menye’, ‘galau’, ‘alay’, dan sebagainya. Memang iya sih. Karya sastra populer ada karena mengikuti perkembangan budaya populer masa kini. Ada dan berkembangnya karya sastra populer juga didasari banyaknya minat di masyarakat. Oleh karenanya, budaya sastra populer berkembang. Ada yang pernah dengar istilah novel teenlit? Itu salah satu jenis sastra populer untuk remaja. Selain teenlit juga ada novel momlit; yang disasarkan untuk ibu-ibu rumah tangga dan mbak-mbak kantoran dan berkarir tapi masih jomblo, novel chicklit, novel metropop, dan sebagainya. Itu paparan singkat mengenai sastra populer menurut versi saya sih, berdasar buku-buku yang kebetulan saya baca. Mohon maaf kalau ada kesalahan 🙂

Novel populer tentu enak dibaca dan bawaannya seneng aja. Ringan. Bisa untuk hiburan kalau sedang suntuk. Tapi karena mahasiswa sastra Indonesia itu kadang sok-sokan, ketika baca novel pop, mereka suka kasih komentar-komentar, keluhan-keluhan, omelan-omelan, yang sebenarnya wajar saja ditemukan di novel populer. Termasuk saya. Saya bukan orang yang anti novel-novel pop. Namun, saya juga suka malas sih, kalau baca novel-novel pop yang benar-benar pop. Tidak semua novel pop suka saya baca. Ada beberapa novel pop yang saya suka dan saya sangat rekomendasikan teman-teman untuk membacanya. Bisa juga lho, novel populer mengandung pesan-pesan dan pelajaran yang bisa dipetik untuk kehidupan sehari-hari. Pelajaran dan pesan yang dituangkan ke novel populer cenderung cepat sampai kepada masyarakat, terutama yang baca novelnya, karena dikemas secara menghibur. Salah satu novel populer favorit saya adalah novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya. Berikut sedikit ulasan novel tersebut.

Novel Sabtu Bersama Bapak adalah karangan dari penulis Adhitya Mulya dan diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2014. Novel ini menceritakan tentang kisah seorang bapak, sebut saja Pak Gunawan, yang meninggalkan istirinya, Bu Itje, dan kedua jagoan mereka, Satya dan Cakra. Pak Gunawan divonis kanker dan umurnya tidak panjang lagi. Namun, Pak Gunawan adalah orang yang mumpuni dalam merencanakan sesuatu. Ia adalah orang yang selalu mempunyai rencana yang digunakannya untuk menghadapi segala kondisi di masa yang akan datang. Walau sudah divonis bahwa umurnya tinggal satu tahun lagi, ia mempersiapkan segala sesuatu untuk masa depan keluarga kecilnya, termasuk untuk pendidikan dua jagoannya. Bukan hanya secara material saja, namun Pak Gunawan juga mempersiapkan bekal dalam bentuk nasihat yang dituangkannya ke dalam sebuah video. Pak Gunawan sadar bahwa ia tidak bisa membimbing dan membesarkan anak-anaknya secara langsung. Di masa yang akan datang, akan banyak pertanyaan-pertanyaan yang akan keluar dari Satya dan Cakra dan tidak bisa dijawab sendiri oleh sang ibu. Oleh karena itu, Pak Gunawan merekam semua nasihat-nasihat untuk diberikannya kepada Satya dan Cakra. Bukan itu saja, Pak Gunawan juga berharap ia bisa menemani kedua jagoannya ini tumbuh hingga dewasa, walaupun tidak secara langsung.

Ketika Pak Gunawan sudah pergi meninggalkan mereka bertiga, Ibu Itje membimbing mereka untuk menonton video dari bapak. Namun, Bu Itje memberikan syarat untuk dapat menonton video tersebut. Satya dan Cakra hanya diperbolehkan untuk menonton video dari bapak pada hari Sabtu. Hal ini dipesankan oleh Pak Gunawan agar Satya dan Cakra tetap belajar dan bermain pada hari-hari biasa. Satya dan Cakra tidak keberatan, bahkan mereka bersemangat sekali menyambut datangnya hari Sabtu. Sabtu bersama bapak.

Video dari Pak Gunawan tersebut menemani Satya dan Cakra tumbuh menjadi pria dewasa. Satya bekerja di sebuah perusahaan kilang minyak terkemuka di Denmark. Ia tinggal bersama istrinya, Rissa, dan ketiga buah hatinya, Ryan, Miku, dan Dani. Cakra yang diusianya yang sudah menginjak kepala tiga, akhirnya menemukan jodohnya dengan kebetulan-kebetulan yang manis, walau penuh perjuangan. Satya yang sudah menjadi seorang suami dan bapak untuk ketiga anaknya pun, harus bisa melakukan tugasnya dengan baik sebagaimana Bapaknya ajarkan. Selain itu, mereka berdua juga sangat menyayangi ibunya.

Novel ini banyak mengajarkan hal-hal tentang pengasuhan dan pendidikan anak sampai anak tersebut mencapai kedewasaan personal. Bahkan ketika orang tua sudah meninggal, anak tetap mendapatkan pelajaran pertama dari orang tuanya. Di novel ini juga banyak dibahas masalah pria ketika menginjak dewasa; seperti bagaimana menyusun rencana kehidupan yang matang ketika ia hendak menikahi seorang gadis, bagaimana sikap ketika menjadi kepala keluarga, bagaimana menjadi sosok ayah yang baik, dan bagaimana menjadi seorang suami yang siap melindungi dan menafkahi.

Selain bacaan yang menghibur, novel ini juga mengandung banyak pelajaran yang bisa diambil. Di novel ini memang banyak dibahas mengenai seorang pria yang baik dan bertanggung jawab. Akan tetapi, pembaca juga dapat mengambil beberapa pelajaran mengenai cara mencari pasangan yang baik dan ideal, tentang persiapan membangun sebuah keluarga, tentang pola pengasuhan dan pendidikan anak, tentang sosok seorang bapak yang baik, dan arti kekeluargaan yang sesungguhnya. Adhitya Mulya menulis dan mengemas kisah ini dengan sangat baik. Lucu, haru, dan menarik. Antusiasme pembacanya sangat tinggi dan membuat novel ini juga layak dijadikan film. Selain itu, kutipan-kutipan yang ada di dalam novel ini juga quotable banget buat dijadikan caption di instagram, path, atau tumblr.

Meminta maaf ketika salah adalah wujud dari banyak hal. Wujud dari sadar bahwa seseorang cukup mawas diri bahwa dia salah. Wujud dari kemenangan dia melawan arogansi. Wujud dari penghargaan dia kepada orang yang dimintakan maaf.”

atau ini,

Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain”

Selamat membaca!

Kehidupan Seorang Tukang Masak di Sebuah Sekolah Berasrama

Kami memanggilnya Bude, walaupun kami tahu tidak ada satu pun dari kami yang benar-benar satu darah dengannya. Namun demikian, Bude benar-benar seperti Bude kami. Bude yang selalu mengasihi kemenakan-kemenakannya. Selain itu, Bude juga memberikan porsi waktunya untuk kami begitu banyak daripada untuk anaknya sendiri. Bude tidur di rumah kami lebih sering daripada tidur di rumahnya sendiri. Aku sempat berpikir, mungkin ia juga pantas dengan sebutan “Mamak” atau “Embok”.

Bude adalah wanita yang berumur hampir setengah abad. Bude sudah lama hidup dengan mengasuh anaknya seorang diri. Suaminya lebih dulu pergi dipanggil yang Maha Kuasa. Kami mengenal Bude sejak asrama sekolah mulai dipindah ke gedung belakang. Budelah yang setiap hari menyiapkan makan pagi dan makan malam untuk kami, anak-anak yang tinggal di bawah atap yang sama.

Ketika sepertiga malam datang, wanita itu selalu sudah bangkit dari papan tempat ia merebahkan tubuh di malam hari. Suara pisau dapur terdengar sampai lorong-lorong kamar. Dapur terasa hidup pada saat itu. Ada tiga kompor di dapur menemani wanita itu bekerja. Kompor pertama dinyalakan untuk digunakan merebus air minum. Kompor berikutnya dinyalakannya untuk menanak nasi. Kompor ketiga untuk memasak lauk-pauk. Tangannya bekerja cepat mengupas bawang merah dan bawang putih serta meracik bumbu-bumbu lain. Ia nyaris tak pernah menghiraukan tangannya selalu bau bawang setiap paginya. Bahan makanan diraciknya juga dengan cepat dan cekatan.

Ia tidak pernah mengeluh walaupun hampir setiap hari ia selalu menanak nasi lebih dari 3 kilogram. Ia juga meracik banyak sekali bumbu dan bahan makanan untuk lauk pauk. Ia juga mengangkat dua panci besar air yang dimasak untuk dituang ke wadah besar tempat air minum. Ia juga mencuci bekas wadah sayur semalam. Kegiatan itu berulang kali ia lakukan setiap hari.

Ketika pagi datang, semua makanan sudah siap. Nasi sudah tersedia, lauk sudah matang, air sudah siap untuk diminum. Anak-anak mengantri mengambil nasi dan lauk pauk untuk sarapan. Bude merasa senang ketika anak-anak menyantap makanannya dengan lahap dan menghabiskannya. Namun demikian, tidak jarang ada anak yang mengeluhkan masakannya dan memilih untuk sarapan di kantin atau warung depan asrama.

Akan tetapi, Bude tidak pernah marah. Sekali pun ada anak yang bilang masakannya kurang enak, keasinan, kurang garam, kurang gizi, bahkan kurang banyak, bude tidak pernah marah. Entahlah bagaimana di dalam hatinya. Aku harap tidak ada kata-kata yang membuat bude sakit hatinya. Tega sekali jika ada kata-kata yang membuatnya sakit hati. Padahal, wanita itu baru istirahat ketika semua anak sudah selesai sarapan. Saat semua anak mulai berangkat ke sekolah, ia membersihkan dan membereskan semua peralatan dapur. Ia merebahkan diri sejenak setelah semuanya beres.

Sebelum matahari tepat di atas kepala, Bude bangkit lagi untuk menuju ke pasar. Ia berbelanja bahan makanan untuk makan malam dan sarapan esok harinya. Setelah dari pasar, bude mulai lagi untuk memasak makan malam. Ia baru akan beristirahat ketika anak-anak selesai menyantap makan malamnya.

Ternyata, ada manusia biasa selain Presiden, Bupati, Duta Besar, atau Pilot, yang hanya punya waktu untuk tidur kurang dari 5 jam setiap harinya. Wanita itu hanya berpikir untuk menyekolahkan anak tunggalnya setinggi mungkin. Ia rela tidak tinggal di rumahnya dan memilih tinggal di asrama ini. Ia rela banting tulang siang dan malam. Tidak usah diceritakan untuk apa, kau pasti sudah tahu.

Bude, begitu kami memanggilnya, telah berjasa banyak untuk kelangsungan hidup anak-anak yang tinggal di asrama ini. Bude selalu memastikan tidak ada anak yang tidak mendapatkan jatah makan. Semoga amalnya dapat mengantarkannya pada kebaikan-kebaikan lain untuk kehidupannya.

chef

Ini bukan Bude ya. Jangan bayangkan bude seperti ini. Aku tidak punya foto dengan Bude.

Namanya Putri

Dia datang dari pulau Bali. Bukan suku Bali asli. Orang tuanya asli Jawa namun sudah lama bekerja di Bali. Aku tidak ingat betul kapan pertama kali aku berbicara dengannya. Aku tahu namanya Putri setelah perkuliahan hari pertama dilaksanakan. Nama lengkapnya Putri Aprilia. Kulitnya coklat sawo matang. Matanya bulat dan bersahabat. Bola matanya hitam pekat. Bentuk mukanya tidak terlalu lonjong, tapi juga tidak terlalu bulat. Tingginya rata-rata. Aku tidak tahu seperti apa rambutnya karena ia mengenakan jilbab. Ketika ia melemparkan senyum, terlihat bahwa ia adalah seseorang yang sangat tulus. Kau harus melihatnya sendiri.

Ya, ia datang dari pulau Bali. Ia berhasil meraih satu kursi di perguruan tinggi yang terkenal di seluruh negri. Besar tekadnya untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Besar pula ambisinya untuk mengejar cita-cita yang sudah ia bawa dari pulau di seberang sana. Oleh karena itu, ia datang ke Yogyakarta dengan bahagia.

Beberapa lama setelah proses orientasi mahasiswa baru, Putri merasakan hal yang lazim dirasakan mahasiswa rantau lainnya. Orang-orang menyebutnya homesick. Rindu orang tua, rindu rumahnya, rindu kakaknya, rindu kamar tidurnya, rindu lingkungannya, rindu teman-temannya, dan juga rindu pada hal-hal yang ia tinggalkan di sana. Ketika diantar ke Yogyakarta oleh kedua orang tuanya, banyak pesan-pesan yang ditinggalkan oleh mereka. Bukan hanya pesan, namun juga doa dan restu. Orang tuanya meninggalkan Putri di sini dengan rasa percaya yang besar bahwa putri bungsu mereka akan hidup dengan baik. Dengan bekal restu orang tuanya itu, Putri yakin bahwa dia bisa hidup dan belajar dengan baik, walau tanpa orang tua di dekatnya. Kemudian ia bangkit. Banyak hal yang harus ia raih di sini.

Selama semester pertama berlangsung, Putri tinggal bersama sepupunya di kawasan Condong Catur. Semua berjalan baik-baik saja. Semua proses perkuliahan ia ikuti dengan baik. Putri termasuk anak yang aktif di kelas. Bukan hanya aktif di kelas saja, ia juga mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan seperti kepanitian HMJ dan ikut bergabung di Lembaga Eksekutif Mahasiswa. Semua aktivitas itu ia ikuti dengan baik. Putri juga bergaul dengan banyak teman dan mengobrol dengan banyak orang. Sekali lagi, semua berjalan baik-baik saja sesuai dengan niat awalnya untuk menuntut ilmu dan meraih cita di kota ini.

Menginjak semester kedua, Putri mengabarkan padaku bahwa ia akan pindah tempat tinggal karena suatu alasan tertentu. Begitu juga dengan Mbak Galih, sepupunya yang selama enam bulan ini tinggal bersamanya.

Oh, iya. Aku lupa sesuatu. Putri mempunyai seorang kakak laki-laki yang juga menuntut ilmu di kota ini, namun berbeda kampus. Kakak laki-lakinya tinggal di rumah neneknya yang terletak di daerah Taman Siswa. Sebenarnya, daerah itu mempunyai jarak tempuh yang cukup jauh, baik ke kampus kakaknya maupun ke kampusnya sendiri. Namun, mau tidak mau, ia harus pindah. Pendek kata, ia tinggal bersama kakaknya di rumah neneknya itu mulai dari awal semester dua.

Pepatah yang berbunyi, “Manusia hanya bisa merencakan, tapi tetap Tuhan yang menentukan” itu berlaku untuk Putri. Dari awal, ia mempunyai niat menuntut ilmu dan mengembangkan diri di kampus. Namun, Tuhan memberinya tanggung jawab dan amanah lain yang mungkin tidak diberikan Tuhan kepada sembarang orang.

Putri tidak terjebak. Tuhan sudah menggariskannya. Dari awal semester dua hingga hari ini, Putri tinggal bersama kakak laki-laki dan neneknya. Neneknya sudah tua. Usianya hampir tujuh puluh lima tahun. Sebelum Putri dan kakaknya datang ke kota ini, neneknya tinggal sendiri. Namun, karena usianya semakin tua, kesehatannya mulai tidak stabil. Mungkin karena itu, Tuhan mengirimkan Putri dan kakaknya untuk menjadi malaikat yang senantiasa merawat dan menemani nenek di hari tuanya.

Tentu saja dengan keadaan yang demikian, Putri tidak lagi dapat berkegiatan di kampus terlalu sering. Ia sering datang hampir terlambat setiap kuliah. Bukan karena ia malas-malasan. Ia selalu bangun pagi untuk memasak air, menanak nasi, mencuci piring, membersihkan rumah, mengantar neneknya mandi, dan menyiapkan lauk pauk untuk neneknya. Setelah semuanya siap, ia baru akan mengurus dirinya sendiri dan bersiap untuk kuliah. Hal itu berlangsung setiap hari. Di saat teman-teman lain sibuk ke perpustakaan, rapat, diskusi, nongkrong, main, dan sebagainya, Putri harus cepat-cepat pulang ketika kelas selesai. Ia harus memastikan neneknya makan dengan baik dan tidak terjadi sesuatu apapun.

Jarang sekali mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua memiliki kehidupan yang demikian. Sebagian perantau berjuang untuk dirinya sendiri agar dapat hidup dengan baik, meraih IPK bagus, aktif di organisasi kampus, dan mungkin juga kerja paruh waktu. Namun, Putri tidak. Ia merantau, menuntut ilmu, juga merawat neneknya setiap hari. Ia tak pernah mengeluhkan waktunya yang seharusnya bisa untuk ke perpustakaan, pergi main, atau ikut kegiatan kampus seperti teman-temannya, terpakai untuk menemani neneknya di rumah. Aku yakin, walaupun ia tak lagi bisa sering berkegiatan di kampus seperti yang ia niatkan, ia akan mendapatkan lebih dari niatnya. Tuhan memang bijaksana. Belum tentu orang lain dapat seperti Putri dan kakaknya. Mereka merawat neneknya yang makin hari makin menua tanpa mengeluh.

Putri pernah bilang padaku begini, “Aku percaya setiap perbuatan yang kita lakukan akan kembali lagi pada kita, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk”. Iya. Benar. Selama kita berbuat baik, maka kebaikan-kebaikan akan selalu mengelilingi kita.

Oh iya. Aku lupa. Di awal sudah kukatakan, ketika Putri melemparkan senyum, akan terlihat bahwa ia adalah orang yang sangat tulus. Itu benar. Seratus persen benar. Kau tidak percaya? Silakan berkenalan dengannya.

20151216_113023Ini aku dan Putri. Kami teman baik.

Aku percaya setiap perbuatan yang kita lakukan akan kembali lagi pada kita, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk (Putri, 2015)